Putrajaya digagas, dirancang dan dibangun Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Mohamad untuk menjadi pusat pemerintahan Malaysia. Sementara Kuala Lumpur yang semula ibukota negara menjadi pusat perniagaan.
Putrajaya contoh kemoderenan yang masih mengukuhkan tradisi kekeluargaan yang tinggi, kebersamaan dan persatuan.
Hal tersebut dikemukakan Prof. Dr. Yahaya Ibrahim dalam perbincangan dengan Musni Umar, Sarwan, Siti Aminah Amohoru (Ici), Erni dan Harris dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta serta Prof. Zambri, Timbalan Presiden Global Education Services, di ruang tamu Majlis Profesor Negara (MPN) di Putrajaya, Malaysia (19/10).
Menurut mantan Chancellor Univ. Sultan Zainal Abidin (Unisza) Trengganu bahwa kemoderenan warga Putrajaya, tetap mengukuhkan dan mengamalkan tradisi lama yaitu keakraban yang tinggi, tolong-tolong, saling menjaga dan saling melindungi.
Rumah Tak Berpagar
Satu hal yang mengesankan bahwa rumah di Putrajaya tak diberi pagar. Maknanya warga dari setiap rumah saling menjaga dan melindungi.
Jika ada yang mengganggu, atau ada maling misalnya, mereka secara bersama bahu-membahu mencegah atau membantu tetangga yang mengalami kemalangan.
Kehidupan bersama yang diamalkan warga Putrajaya Malaysia merupakan warisan nenek moyang bangsa Melayu yang penting dijaga, dirawat dan dipertahankan, yang dalam perkembangan sosial samada di Malaysia maupun di Indonesia sudah mulai ditinggalkan.
Pada hal manusia sebagai makhluk sosial walaupun sudah maju, moderen, tinggi kehidupan sosial ekonominya, tetap memerlukan sesamanya.
Oleh karena itu, Putrajaya yang warganya mayoritas Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pegawai kerajaan memberi contoh dan teladan yang baik bagi bangsa Malaysia dan bangsa Indonesia bahwa kemoderenan, kemajuan yang tinggi dalam bidang ekonomi, sosial dan pendidikan tidak sepatutnya meninggalkan budaya lama yang memiliki kebaikan yang tinggi dalam hidup bersama.
Putrajaya, 19/10/2018

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
