Masyarakat Indonesia akhir-akhir banyak sekali yang protes media. Salah satu media yang diprotes keras ialah Metro TV. Media ini sudah di boikot Tim Kampanye Nasional Prabowo-Sandi, karena dianggap partisan – hanya menjadi corong calon Presiden dan calon Wakil Presiden serta partai politik tertentu.
Protes masyarakat diungkapkan di media sosial, tetapi bak pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Protes masyarakat bagaikan angin lalu tidak dihiraukan atau dipedulikan.
Pasalnya, pimpinan partai politik dan juga pemilik media telah menjadi penyokong utama pasangan calon Presiden (Capres) dan calon Wakil Presiden (Cawapres) petahana (incumbent). Konsekuensinya, gerbong mereka seperti media yang dimiliki dan dikelola, secara total mendukung pasangan Capres dan Cawapres yang dijagokan bosnya.
Selain itu, kalau ada tokoh partai politik, pengusaha besar, mantan penguasa yang nampak beroposisi akan dicarikan kasus hukum yang bisa menyeret yang bersangkutan untuk menjadi tersangka, sehingga mengalami kesulitan jika tidak menyokong penguasa.
Contoh dalam kasus ini ialah Hary Tanoesoedibyo, President/CEO MNC Group, gara-gara mengirim sms kepada Kejaksaan Agung RI yang rada mengancam kemudian dijadikan tersangka, sehingga terpaksa berbalik haluan 100 persen – memihak total kepada penguasa berikut media yang dimiliki. Hal itu dilakukan untuk menghindar proses hukum dan menjaga keselamatan bisnis media yang dipimpinnya dan jaringan bisnis lainnya.
Begitu juga Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota dan para mantan penguasa di daerah dari partai manapun termasuk partai oposisi, harus menyokong penguasa agar aman dari masalah hukum.
Media di Malaysia
Media di Malaysia sebelum terjadi perubahan kekuasaan dalam Pemilu (PRU) ke 14, hampir sama yang di alami Indonesia sekarang ini.
Semua media (TV, koran dan radio) di Malaysia memihak kepada penguasa yang dipimpin Datuk Seri Najib Tun Razak. Opisisi tidak mendapat pemberitaan media yang sepatutnya.
Selain itu lembaga survei semuanya memihak kepada penguasa, sehingga banyak yang tidak percaya Pakatan Harapan yang dipimpin Tun Mahathir Mohamad dan Datuk Anwar Ibrahim bisa memenangkan Pemilu Malaysia 9 Mei 2018.
Pertanyaannya, apa yang dilakukan opisisi di Malaysia untuk meraih kemenangan dalam Pemilu. Pertama, menyadarkan masyarakat bahwa Malaysia dalam ancaman bahaya (bangkrut) akibat utang luar negeri yang amat besar.
Kedua, memberi data kepada rakyat Malaysia merajalelanya korupsi di dalam kekuasaan Barisan Nasional dan dugaan kuat keterlibatan Datuk Najib Tun Razak dalam korupsi (rasuah) 1MDB.
Ketiga, meminta sokongan kepada rakyat Malaysia untuk mengundi (memilih) calon-calon anggota parlemen dari Pakatan Harapan supaya bisa merebut Putrajaya.
Keempat, menggunakan media sosial secara masif sebagai sarana kampanye Pemilu.
Kelima, memastikan kepada rakyat Malaysia terutama kaum pribumi bahwa perubahan kekuasaan di Malaysia tidak akan merugikan kepentingan mereka.
Maka walaupun media maintream di Malaysia tidak memberitakan kegiatan kampanye partai oposisi (pembangkang) secara adil, tetapi kekuatan media sosial sangat efektif mempengaruhi publik Malaysia dalam melakukan perubahan.
Melihat fenomena sosial di masyarakat dan hasil dialog saya dengan masyarakat bawah, sebagai sosiolog, saya merasa yakin, perubahan di Malaysia bisa terjadi di Indonesia.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
