Sebagai aktivis mahasiswa yang pernah dipenjara oleh rezim Orde Baru dan puluhan tahun dicekal, saya tidak pernah melupakan masa-masa sulit yang dialami pada masa Orde Baru.
Oleh karena itu, saya dan teman-teman aktivis 77/78 pada saat itu selalu berharap dan berdoa semoga rezim Orde Baru segera tumbang.
Akhirnya tahun 1998, melalui demonstrasi besar-besaran mahasiswa, Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 menyatakan berhenti sebagai Presiden RI.
Pak Harto dipaksa mengundurkan oleh para tokoh, pimpinan DPR/MPR, masyarakat Indonesia kelas menengah dan masyarakat internasional, setelah mahasiswa menguasai gedung parlemen.
Sebagai sosiolog, saya harus mendengar suara rakyat jelata (wong cilik). Bukan pengalaman hidup yang penuh derita, kemudian menaburkan rasa benci dan dendam, sehingga tidak bisa berpendapat jujur, benar dan adil.
Akhiri KKN
Berhentinya Pak Harto sebagai Presiden RI, otomatis berakhir rezim Orde Baru dan tampil rezim Orde Reformasi.
Rakyat Indonesia dan para mahasiswa ingin di era Orde Reformasi, seluruh bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dilindungi, rakyat hidup sejahtera, dan cerdas sesuai tujuan Indonesia merdeka.
Selain itu, segera diakhiri KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang menjadi isu sentral untuk menggulingkan Pak Harto dari kedudukannya sebagai Presiden RI.
Oleh karena itu, penguasa baru – rezim Orde Reformasi bersama DPR membuat Undang-undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang kemudian lahir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Setelah lebih 20 tahun usia Orde Reformasi, tidak ada data yang menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia semakin berkurang. Bahkan publik berpendapat bahwa korupsi semakin merajalela.
Rakyat Jelata Nelongso
Bukan saja korupsi gagal diberantas, tetapi pemerintahan Orde Reformasi yang sudah silih berganti melanjutkan pembangunan dengan berutang dalam jumlah sangat besar, tetapi yang amat memprihatinkan kehidupan rakyat jelata tidak berubah – malah semakin sulit (nelongso).
Kalau saya turun ke berbagai kawasan yang dihuni rakyat jelata, lalu bertanya bagaimana kehidupan mereka? Semua menjawab bahwa kehidupan mereka nelongso (sulit, susah, merana).
Rakyat jelata membandingkan hidup di era Orde Baru dan era Orde Reformasi. Mereka selalu mengatakan kepada saya bahwa hidup di era Orde Baru lebih baik daripada di era Orde Reformasi.
Apa alasannya, rakyat jelata mengatakan bahwa hidup di Orde Baru lebih baik? Mereka menjawab, di masa Orde Baru “apa-apa murah” dan “mudah mendapat pekerjaan”.
Sementara sekarang sebaliknya, apa-apa mahal dan sulit mendapat pekerjaan.
Semoga Pemilu serentak 2019 merupakan jalan menuju perubahan dan perbaikan.
Allahu a’lam bisshawab

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
