Islam bagi warga DKI Jakarta yang Muslim sudah menjadi way of life (cara hidup), cara pikir dan cara pandang.
Islam tidak saja sebagai way of life bagi warga DKI Muslim, tetapi Islam sudah inheren (melekat) di dalam hati, perasaan, dan pikiran masyarakat Muslim DKI Jakarta, yang diimani atau dipercayai.
Maka walaupun masih banyak orang Islam yang belum mengamalkan ajaran agamanya dengan baik seperti salât lima waktu, tetapi rasa keagamaan mereka tinggi.
Kasus surat Al Maidah 51 sebagai contoh yang menyeret Ahok ke dalam pesakitan merupakan bukti nyata bahwa warga DKI yang Muslim kalau agamanya dihina, mereka marah.
Politik Islam
Walaupun rasa keagamaan warga Muslim DKI tinggi, tetapi belum termanifestasi ke dalam politik Islam.
Setidaknya ada enam alasan yang mendasari, rasa keagamaan yang tinggi tidak termanifestasi ke dalam politik Islam.
Pertama, penjajah berhasil memisahkan Islam dengan politik, dan melahirkan generasi yang memelihara pemisahan Islam dan politik.
Kedua, penguasa politik sukses memelihara pemisahan Islam dengan politik setelah memenangkan pertarungan politik tahun 1945 sebelum dan pasca kemerdekaan RI.
Ketiga, kekuatan global dan penguasa ekonomi lebih suka berkolaborasi dengan penguasa sekuler. Mereka tidak ingin melihat Islam di Indonesia sebagai sebuah kekuatan.
Keempat, ulama mudah dirayu dan diperdaya dengan harta dan tahta.
Kelima, tidak ada politisi Islam yang bisa diterima oleh mayoritas pemilih karena umat Islam telah terpregmentasi akibat politik devide et impera (pecah belah) oleh penjajahI.
Keenam, masyarakat mudah diperdaya dengan politik sembako, dan politik uang karena miskin.
Tumbuh Kesadaran Politik
Kasus Ahok yang didukung penguasa politik dan penguasa ekonomi telah menyadarkan ulama dan umat pentingnya politik.
Berbagai aksi Bela Islam dan terakhir Aksi 212 yang menghadirkan jutaan orang di Monas Jakarta merupakan fenomena sosial yang tidak lazim terjadi.
Menurut saya, kasus Ahok telah menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran politik umat Islam.
Kesadaran politik memaksa untuk bersatu, karena tanpa persatuan, umat Islam yang banyak jumlahnya, tidak lebih hanya bagaikan buih dipermukaan laut jika ditiup angin segera sirna.
Tumbuhnya kesadaran politik umat Islam telah menghadirkan kekuatan dahsyat, yang kemudian mengubah kekuasaan politik di DKI Jakarta melalui pemilihan Gubernur yang demokratis.
Politik di DKI
Kekuatan Islam yang terkonsolidasi melalui Aksi Bela Islam telah menghadirkan perubahan politik di DKI Jakarta.
Pertanyaannya, apakah perubahan politik di DKI Jakarta tahun 2017, akan menghadirkan perubahan politik di Indonesia dalam Pemilu serentak 17 April 2019?
Sebagai sosiolog, saya melihat berbagai fenomena yang terjadi belakangan ini, ada indikasi kuat akan terjadi perubahan politik di Indonesia.
Adapun pemicu terjadinya perubahan politik di Indonesia.
Pertama, kesulitan ekonomi yang dialami rakyat jelata di berbagai daerah seluruh Indonesia.
Kedua, pemerintahan sekuler telah gagal membawa seluruh bangsa Indonesia maju dan jaya.
Ketiga, tumbuhnya nasionalisme dan kesadaran politik di kalangan ulama serta masyarakat Muslim bahwa mereka harus mengambil peran untuk menyelamatkan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Keempat, perubahan politik di seluruh dunia, yang dimulai terpilihnya Donald Trump dalam Pemilu Presiden di Amerika Serikat, termasuk di Malaysia dengan tumbangnya Najib Tun Razak dan naiknya kembali Tun Mahathir Mohamad menjadi PM. Malaysia.
Kelima, terjadinya kriminalisasi ulama seperti Habib Rizieq Syihab dan lain-lain.
Keenam, hukum tegak ke bawah tumpul ke atas.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya memprediksi, perubahan politik DKI Jakarta akan memberi pengaruh yang besar dalam perubahan politik di Indonesia pada Pemilu 17 April 2019.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
