Sebagai sosiolog dan rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, pertama, saya sampaikan apresiasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah melakukan upaya memberi efek jera kepada koruptor dengan memborgol mereka ketika keluar dari rumah tahanan.
Hal itu dikemukakan pada saat Radio Elshinta Jakarta mewawancarai saya tentang borgol KPK pada koruptor (02/1/2018).
Kedua, pemborgolan itu, walaupun saya apresiasi tindakan KPK, saya kemukakan tidak akan efektif dan memberi efek jera kepada si koruptor karena sikap permisif masyarakat yang sangat menghormati para dermawan walaupun yang menyumbang koruptor dari hasil korupsi.
Maka tugas mulia yang harus dilakukan KPK, Ulama, Pendeta, Cendekiawan, Guru, Tokoh Masyarakat, Masyarakat Madani (Civil Society) dan Orang adalah memberi edukasi (pendidikan) supaya masyarakat membenci siapa saja yang melakukan korupsi dengan memberi hukuman sosial kepada koruptor misalnya mengasingkan mereka dari pergaulan sosial, tidak menghormati dan lain sebagainya.
Selain itu, orang tua di rumah agar mendidik anak dan keluarga supaya bersikap jujur, dan benar dalam kehidupan sehari-hari, tidak korupsi dan membenci setiap perbuatan yang tidak benar seperti korupsi.
Ketiga, menghukum koruptor dengan hukuman maksimal seperti hukuman seumur hidup dan hukuman mati. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh KPK karena tidak ada pasal atau ayat dalam undang-undang tentang pemberantasan korupsi yang memerintahkan untuk menghukum koruptor seperti yang dikemukakan.
Keempat, memiskinkan koruptor dengan menyita seluruh harta yang dimiliki, sehingga yang bersangkutan dan keluarganya menderita dan malu dalam kehidupan di masyarakat.
Kelima, menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Hukum tegak lurus, hukum dikenakan kepada siapapun yang melanggar hukum. Penegakan hukum tidak seperti selama ini, tumpul ke atas tajam ke bawah.
Untuk mewujudkan hukuman maksimal dan memiskinkan koruptor, maka suka tidak suka, harus diubah undang-undang pemberantasan korupsi dengan mencantumkan pasal atau ayat tentang hukuman maksimal kepada koruptor serta seluruh harta si koruptor disita oleh negara. Akan tetapi, sulit dilakukan karena pihak eksekutif dan legislatif yang membuat undang-undang tidak akan mau mengubah undang-undang yang bakal menjerat mereka.
Dalam rangka mengatasi masalah korupsi yang sudah sangat merajalela dan membudaya, maka solusinya ada pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan (kekuasaan).
Oleh karena itu disarankan supaya rakyat menggunakan kekuasaan pada Pemilu serentak yaitu Pemilu Presiden dan Parlemen (Legislatif) pada 17 April 2019 untuk mengubah kekuasaan politik dengan memilih Presiden baru serta anggota parlemen (legislatif) baru dari partai politik yang memiliki komitmen kuat dan berani untuk memberantas korupsi.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
