Dalam wawancara saya dengan Brigita Manohara dari TV ONE (11/1/2019) mengenai Bantuan Sosial di masa Pemilu, saya kemukakan bahwa dari aspek sosiologis, sangat diapresiasi oleh mereka yang menerima bantuan karena “bagaikan mendapat durian runtuh.”
Bantuan sosial semacam itu adalah baik, dan pasti disukai masyarakat teristimewa yang menerima Bansos, tetapi dilaksanakan pada masa kampanye Pemilu, sehingga dianggap tidak tepat waktunya karena dilaksanakan pada masa Pemilu.
Dari aspek politik, bantuan sosial di masa Pemilu akan dianggap sebagai politik uang. Praktik semacam ini banyak dilaksanakan para Kepala Daerah menjelang Pemilu, kemudian menimbulkan masalah hukum karena melanggar hukum.
Berdasarkan pengalaman, kita harus waspada dan belajar dari sejarah karena dalam pelaksanaan bantuan sosial banyak disalahgunakan, maka walaupun tujuannya baik, tetapi harus ekstra hati-hati dalam pemberian bantuan sosial, apalagi dalam suasana Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Parlemen (Legislatif).
Bansos dan Politik Uang
Bantuan sosial (Bansos) kepada penerima Program Keluarga Harapan (PKH) telah dilaksanakan pemerintah melalui Kementerian Sosial RI mulai bulan Januari 2019.
“Presiden Jokowi telah mengemukakan bahwa: “Sekarang di 2019 program PKH dulunya kan semuanya sama Rp 1.800.090, sekarang ada yang dapat yang paling maksimal bisa dapat Rp 9.600.000 karena ibu hamil anak ada, lansia ada, bisa dapat Rp 9 juta,” kata Jokowi di GOR Ciracas, Jakarta Timur, Kamis (Detikfinance, 10/1/2019).
Program bantuan PKH ini, seperti dikemukakan sangat bermanfaat bagi penerima bantuan sosial. Akan tetapi, pemberian bansos pasti dikaitkan dengan politik uang.
Saya khawatir, bansos dan politik uang akan menjadi isu yang mewarnai Pemilu 2019, sehingga pasca Pemilu 2019 menjadi persoalan politik yang berkepanjangan karena dianggap Pemilu 2019 dilaksanakan dengan curang seperti ada politik uang. Semoga hal ini menjadi peringatan untuk sukses Pemilu 2019.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
