Salah satu ciri yang dibawa Orde Reformasi ialah liberalisasi ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya, yang kita kenal dengan konsep “persaingan bebas.”
Dalam persaingan bebas, mereka yang menguasai ekonomi dengan mudah menguasai politik, sosial dan segala macam, karena dengan kekuatan uang yang dimiliki bisa membiayai calon Presiden, calon anggota parlemen (anggota legislatif), calon Gubernur, calon Bupati, calon Walikota serta calon pimpinan lembaga negara.
Selain itu, pemilik modal bisa mendirikan partai politik dan membiayai para calon anggota parlemen untuk bertarung dalam pemilihan umum guna merebut kedudukan di parlemen.
Juga pemilik modal mendirikan atau membeli perusahaan media sebagai sarana mencari keuntungan sekaligus alat propaganda partai politik yang didirikan.
Semakin Terpinggirkan
Mereka yang dibiayai untuk merebut kekuasaan politik, setelah berhasil menduduki posisi-posisi penting yang disebutkan di atas, maka pasti menjalankan politik balas jasa.
Disamping itu, pemilik modal yang mendirikan dan memimpin partai politik, mengendalikan para anggota parlemen dan anggota kabinet yang diusulkan partainya, sehingga kebijakan yang dijalankan pada hakikatnya adalah kebijakan pemodal yang juga pimpinan partai politik.
Praktik politik selama Orde Reformasi telah berlangsung seperti itu, sehingga mayoritas rakyat khususnya umat Islam semakin terpinggirkan dalam bidang ekonomi dan politik.
Tetap Dipinggir
Umat Islam yang mayoritas di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai saat ini tetap dipinggir (marjinal) dalam bidang ekonomi.
Umat Islam sudah terpinggir dalam bidang ekonomi, dan semakin memprihatinkan karena ada indikasi kuat akan terpinggir pula dalam bidang politik hasil Pemilu 2019.
Terlepas kita percaya atau tidak hasil survei beberapa lembaga survei, tetap bisa menjadi informasi awal bahwa partai Islam atau partai politik berbasis massa Islam elektabilitasnya masih rendah dan terancam terdepak dari parlemen.
Mengapa ini terjadi? Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari. Pertama, tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai kegiatan partai yang memerlukan dana yang besar terutama dalam kampanye.
Kedua, pemimpinnya masuk ke gerbong penguasa politik dengan harapan mendapat kucuran dana untuk biaya kampanye, tetapi umat Islam mayoritas tidak setuju cara yang ditempuh, sehingga partai politik Islam ditinggal umat (tidak mau memilihnya) dalam Pemilu 2019.
Ketiga, partai politik Islam dilemahkan dengan cara dipecah belah seperti yang dialami PPP. Selain itu, umat Islam diadu domba sehingga bermusuhan satu dengan yang lain. Untuk memecah belah digunakan politik belah bambu, satu kelompok diangkat setinggi-tingginya, yang lain ditekan dengan menggunakan UU ITE untuk memenjarakan mereka.
Apa yang Harus Dilakukan
Umat Islam yang terpinggir dalam bidang ekonomi, banyak yang miskin dan kurang pendidikan, telah menjadi obyek politik dalam Pemilu dengan menggunakan kekuasaan, media dan uang untuk menaklukkan mereka.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan? Menurut saya, harus dilakukan lima hal. Pertama, menggalang kekuatan umat seperti yang dilakukan dalam Aksi 212, Reuni 212 dan Munajat 212.
Kedua, penyadaran umat Islam supaya menggunakan hak pilih dengan memilih calon Presiden dan calon anggota parlemen di semua tingkatan yang bisa dipercaya, amanah, jujur, dan memiliki keberanian serta kemampuan untuk mewujudkan keadilan ekonomi, hukum dan sebagainya.
Ketiga, menggunakan semua medium seperti media sosial, modal sosial dan lembaga-lembaga sosial dan keislaman untuk terus-menerus mengingatkan agar umat memilih calon Presiden dan calon anggota parlemen (legislatif) hasil ijtima’ ulama.
Keempat, menggunakan sistem penggalangan dengan konsep sekasur, sedapur dan sesumur. Lingkungan terdekat harus ditaklukkan supaya semua memilih calon Presiden dan calon anggota parlemen dari partai politik yang mendukung hasil ijtima’ ulama.
Kelima, berdoa sambil berikhtiar atau usaha sekeras-kerasnya, semoga Allah memudahkan dan menyukseskan usaha yang dilakukan.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
