Salah satu tuntutan publik yang amat penting diperhatikan oleh penyelenggara Pemilu dan pengawas Pemilu ialah Pemilu yang jujur adil dan tidak curang.
Tuntutan publik tersebut saya peroleh pada saat silaturrahim dengan ketua RW, para ketua RT, tokoh masyarakat di Kec. Johar Baru, Jakarta Pusat (7/3/2019).
Seorang tokoh masyarakat mengungkapkan adanya indikasi ketidak-jujuran, ketidak-adilan dan kecurangan dalam Pemilu.
Pertama, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Warga negara asing (WNA) jadi pemilih. Ini indikasi ketidak-jujuran dalam Pemilu. Patut diduga, WNA akan memilih petahana.
Kedua, dugaan aparat tidak adil. Kalau pendukung Prabowo-Sandi yang dilaporkan melanggar hukum segera diproses. Sebaliknya, kalau pendukung petahana yang dilaporkan, persepsi masyarakat tidak diproses, sehingga muncul ungkapan “hukum tajam ke oposisi.”
Ketiga, para Gubernur, Bupati dan Walikota melakukan deklarasi dukung petahana, tidak diapa-apakan. sementara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan salam dua jari dengan cepat diproses dan disidang.
Keempat, petahana kampanye menggunakan pesawat kepresidenan, pengawalan dan mobil RI 1 tidak diapa-apakan. Ini bentuk ketidak-adilan. Sudah jelas melanggar UU tidak ditindak sesuai hukum.
Dampak Negatifnya
Kita apresiasi jargon TNI dan Polisi Pemilu damai. Kita harus mengusahakan Pemilu berlangsung damai.
Akan tetapi Pemilu damai merupakan resultante (hasil atau akibat) dari Pemilu yang dilaksanakan secara langsung umum bebas rahasia jujur dan adil.
Pemilu yang dilaksanakan dengan kecurangan (tidak jujur dan tidak adil), hampir pasti tidak akan menghasilkan Pemilu yang damai.
Beberapa tokoh di akar rumput menyampaikan kepada saya bahwa akan terjadi huru-hara dalam Pemilu.
Sebagai sosiolog, saya memastikan pra, saat pelaksanaan dan pasca Pemilu akan berlangsung damai. Syaratnya Pemilu harus Luber, jujur dan adil. Jika Pemilu berlangsung curang sejak masa kampanye, saat pencoblosan dan pasca Pemilu yaitu hasil perolehan suara dicurangi, maka Pemilu akan berlangsung tidak damai. Pemilu bisa berdarah-darah.
Tegakkan Hukum
Para penyelenggara dan pengawas Pemilu, penegak hukum dan pemerintah, harus melakukan lima hal.
Pertama, hukum harus ditegakkan secara murni dan konsekuen. Tidak boleh hukum dan aparat hukum serta aparat keamanan jadi alat untuk kepentingan penguasa. Harus netral dan adil. Kejujuran dan keadilan mutlak diimplementasikan dalam pelaksanaan Pemilu.
Kedua, penyelenggara dan pengawas Pemilu, serta DKPP harus hadir mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil dalam pelaksanaan Pemilu. Tidak boleh ada kecurangan dan politik uang.
Ketiga, aparat keamanan, pertahanan dan ASN/PNS harus netral tidak boleh memihak dalam Pemilu. Ini tantangan berat yang mau tidak mau harus dilakukan untuk mewujudkan Pemilu yang damai.
Keempat, petahana dan penantang harus menghindari cara-cara yang menghalalkan segala cara demi menang dalam Pemilu. Utamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, golongan dan partai politik.
Kelima, partisipasi masyarakat madani seperti mahasiswa, cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat untuk menciptakan Pemilu yang berbudaya, tidak ada kecurangan, dan politik uang.
Dengan melakukan lima hal tersebut, maka berarti kita telah melaksanakan Pemilu yang damai. Karena Pemilu yang tidak jujur, tidak adil, tidak ada kecurangan dan tidak politik uang akan menghadirkan Pemilu yang damai.
Kita semua harus berjuang mewujudkan Pemilu yang damai. Syaratnya harus JuJur ADil Tidak Curang. WUjudkan Pemilu Jurdil dan tidak curang https://t.co/K3c7O899Lh
— Musni Umar (@musniumar) March 10, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
