Pada 12 Juni 2019 dengan pesawat Batik Air saya melakukan perjalanan ke Ambon. Tujuan akhir perjalanan adalah Masohi, ibukota kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku.
Untuk mengenang kota Ambon yang dikeliling laut, saya minta kepada Siti Aminah (Ici) yang mengurus perjalanan saya, supaya saya menginap di kota Ambon satu malam.
Saya bersyukur adinda Wanda dari Badko HMI Maluku-Maluku Utara menjemput saya dan saya menginap disebut hotel di kawasan Masjid Al Fatah, Ambon.
Pada saat mendarat di Airport International Pattimura Ambon, saya terkenang nama kota Ambon Manise.
Dalam perjalanan menuju kota Ambon sekitar satu jam, saya menyaksikan keindahan kota Ambon yang dibangun mengelilingi laut.
Ambon merupakan teluk yang amat indah, apalagi ketika melintasi jembatan Merah Putih di pusat kota Ambon nampak sekali keindahan kota Ambon. Pantas sekali kota Ambon dijuluki Ambon Manise yang berarti kota Ambon yang manis dan cantik.
Kemarin 12/6 saya shalat Magrib di Masjid Al Fatah Ambon yang amat bersejarah dalam konflik tahun 1999 pic.twitter.com/GM5JSPFdVc
— Musni Umar (@musniumar) June 12, 2019
Terjadi Segregasi Sosial
Saya menyenangi kota Ambon yang indah, tetapi ketika mendengar informasi dan menyaksikan terjadinya segregasi sosial yaitu pemisahan kelompok secara paksa berdasarkan Agama, akibat konflik di awal Orde Reformasi tahun 1999, saya menjadi sedih.
Konflik sosial di Ambon tahun 1999 yang diakhiri dengan perjanjian damai di Malino, Sulawesi Selatan yang diprakarsai Wapres JK ternyata masih menyisahkan kesedihan dan kepedihan.
Pusat kesedihan saya sebagai sosiolog adalah terjadinya segregasi sosial di Ambon pasca konflik sosial tahun 1999, dimana penduduk Nasrani bermukim di kawasan Kristen/Katolik yang ditandai dengan Gereja. Sebaliknya penduduk Muslim bermukim di kawasan Muslim dengan simbol Masjid.
Saya tidak tahu persis, apakah segregasi sosial masyarakat Ambon berdasarkan Agama sudah terjadi sebelum meletus konflik sosial atau sudah ada tetapi masih ada bauran tempat bermukim masyarakat Muslim dengan masyarakat Nasrani sebelum meletus konflik sosial bernuansa Agama.
Menurut Wanda, Alumnus Universitas Darussalam, Ambon. Konflik sosial yang bernuansa Agama telah menciptakan segregasi sosial masyarakat Ambon, yaitu pembelahan tempat bermukim masyarakat Kristen dan masyarakat Muslim.
IAIN AMBON マルク和解センター長アビディン・ワカノ氏インタビュー 選挙についてGatracom – Dosen IAIN Ambon: Menguatnya Segregasi Berbasis Keagamaan Itu Sangat Menakutkan https://t.co/MXXk3extNc
— 河野佳春 (@ykawan63) March 15, 2019
Jagalah Perdamaian
Saya apresiasi semangat masyarakat Ambon dan Maluku dalam menjaga kebersamaan, persatuan dan kesatuan pasca konflik.
Sehubungan itu, saya ingin sampaikan tips untuk menjaga keharmonisan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
Pertama, para tokoh agama dan tokoh masyarakat harus aktif dan terus menjalin komunikasi, silaturrahim dan kebersamaan dalam rangka menjaga, memelihara dan merawat perdamaian.
Kedua, para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pimpinan organisasi kepemudaan harus selalu membuat program bersama sebagai sarana untuk bertemu, berdiskusi, dan berdialog untuk kebaikan bersama.
Ketiga, semua kekuatan di kedua kelompok (Muslim dan Nasrani) harus selalu mencari titik-titik persamaan dalam masalah sosial, ekonomi, politik, keamanan dan sebagainya sebagai simpul perdamaian bukan perbedaan.
Keempat, pemerintah daerah (provinsi dan kota Ambon) serta pemerintah pusat harus aktif menjaga perdamaian termasuk menfasilitasi pertemuan berkala kedua kelompok (Muslim dan Nasrani) untuk membahas isu bersama untuk membangun Ambon Manise dan provinsi Maluku.
Kelima, pemerintah harus adil dalam mewujudkan tujuan Indonesia merdeka di tanah Ambon Manise yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kalau semua sudah sejahtera, setiap warga negara memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka semua sibuk dan tidak akan ada yang mau konflik.
Semoga tulisan ini memberi sumbangsih dalam upaya menjaga perdamaian abadi di tanah Ambon Manise.
Anggota kelompok tari yang dibentuk saat Ambon dilanda konflik berdarah, bercerita bagaimana seni bisa tetap menyatukan mereka melalui tari Sawat Lenso. https://t.co/Z3ARuYi3q9
— detikcom (@detikcom) January 19, 2019
Hari ini dua puluh tahun lalu, adalah hari bermulanya salah satu konflik paling berdarah di Indonesia: konflik Ambon.
Setidaknya 5.000 orang tewas dan 500 ribu orang mengungsi dalam konflik atas nama agama yang berlangsung hingga 2002 itu. https://t.co/7U9EzUUcxd pic.twitter.com/51o8icDESS
— BBC News Indonesia (@BBCIndonesia) January 19, 2019
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Ambon ibukota Provinsi Maluku kota yg indah. Kota Ambon terletak diteluk sehingga dibangun mengelingi pinggir pantai. Kota Ambon semakin indah ktk kita melintasi jembatan Merah Putih.
Dampk konflik, masy. terbelah dan bermukim di masing2 kelompok. https://t.co/s5SmaAqT5I— Musni Umar (@musniumar) June 18, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
