Pasca putusan MK tentang sengketa pemilihan Presiden bahkan pasca pengumuman KPU tentang pemenang Pilpres 2019, sudah muncul pernyataan beberapa elit partai koalisi Prabowo-Sandi yang bergabung di Koalisi Indonesia Adil Makmur, yang dapat dimaknai sebagai manuver dalam rangka mencari simpati untuk bergabung di Koalisi Indonesia Kerja Jokowi-Ma’ruf.
Gerindra Tegaskan Tetap Oposisi: 68 Juta Suara Harus Dihormati. Dan begitulah demokrasi, yg kalah diluar pemerintah, jadi oposisi. https://t.co/kcsl30Fsei
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) June 29, 2019
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyatakan untuk segera membangun oposisi yang kritis #Partai #Politik #PKS @MardaniAliSera https://t.co/mfVreh7Bqw
— Republika.co.id (@republikaonline) June 28, 2019
Lempar Sinyal Gerindra Jadi Oposisi, Fadli Zon: Kita Tak Ingin Pemerintah Minus Kontrol – Harian Pijar https://t.co/onOepHHWTV
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) June 29, 2019
Seketika semua yg hadir bersepakat u/ tetap bangun kebersamaan demi pengabdian yg tak pernah usai kpd rakyat & bangsa tercinta. Diusulkan dibentuk ‘kaukus parpol’ sbg ajang silaturahmi… Adil & Makmur tetap mjd roh & spirit…
— PBS (@PriyoBudiS) June 28, 2019
Dlm Musyawarah koalisi parpol pendukung Pak @prabowo sore tadi, beliau menyampaikam pesan agar para pendukung,khususnya emak2 dan elemen lainnya tak perlu bersedih, perjuangan politik kita msh panjang, ini bukan akhiran namun jalan yg diberikan Allah SWT agar kt terus berjuang.
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) June 28, 2019
Dalam politik sah-sah saja, tetapi sebaiknya dipikir ulang dan melihat jauh ke depan bahwa beroposisi (sebagai penyeimbang) saat ini jauh lebih banyak manfaatnya bagi partai politik, bangsa dan negara. Setidaknya ada lima alasan yang mendasari.
Pertama, untuk menyelamatkan demokrasi diperlukan penyeimbang yang kuat di parlemen (DPR dan DPRD). Disinilah partai koalisi Prabowo diperlukan. Dalam sebuah negara demokrasi, pengawasan terhadap mereka yang berkuasa, merupakan kunci untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan lebih makmur.
Kedua, untuk mewujudkan check and balance (pengawasan dan keseimbangan). Ini penting sekali karena tabiat penguasa dimanapun cenderung korupsi jika tidak diawasi. Lord Acton telah mengingatkan “Power tends to corrupt and the absolutely power tends to corrupt absolutely.”
Pemerintah sebaiknya tidak menguasai kedua-duanya yaitu di eksekutif dan di parlemen, karena pasti tidak ada pengawasan (kontrol) yang efektif. Untuk kepentingan pengawasan terhadap yang berkuasa (eksekutif), amat diperlukan koalisi partai politik Prabowo-Sandi berada di luar kekuasaan. Cukup di parlemen (DPR RI dan DPRD) agar bisa melakukan pengawasan dengan baik.
Ketiga, untuk melindungi bangsa dan negara. Saat ini semakin penting pengawasan dari parlemen (DPR RI dan DPRD) karena amat mengkhawatirkan masuknya China ke Indonesia melalui proyek OBOR (One Belt One Road) yaitu jalur Sutra Modern China mengusai darat dan maritim, bahkan juga udara dengan masuknyan penerbangan pesawat China di Indonesia yang dimulai dengan penerbangan Jakarta-Makassar. Proyek Obor ini telah direvisi dengan istilah Belt Road Initiative (BRI).
China's one belt, one road is amongst the most ambitious projects of all time. pic.twitter.com/InUi1xTFTX
— Vladimer Botsvadze (@VladoBotsvadze) June 28, 2019
Keempat, untuk melindungi rakyat dari perlakuan tidak adil. Parlemen di pusat dan daerah perlu diperkuat untuk mengontrol penguasa agar kekuasaan untuk membesarkan yang kecil dan tidak mengecilkan yang besar. Hal itu hanya bisa terjadi kalau partai politik koalisi Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 membangun kekuatan di parlemen pusat dan daerah untuk saling menyeimbangkan secara positif dan konstruktif.
Kelima, untuk investasi politik dan sosial menghadapi Pemilu 2024. Saya menyarankan partai politik yang bergabung di Koalisi Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 sebaiknya belajar dari PDIP. Partai yang dipimpin Megawati Soekarno Putri ini hanya memilih dua opsi dalam berpolitik, yaitu menjadi partai penyeimbang (berada di luar kekuasaan) atau menjadi partai yang berkuasa.
Pilihan politik PDIP yang konsisten telah menghantarkannya menjadi partai politik yang terkuat dan paling berpengaruh di Indonesia saat ini.
Belum jelas soal apakah Prabowo dan kubunya akan konsisten di jalur oposisi atau tidak. Namun ternyata, oposisi punya peran penting dalam sejarah politik Indonesia. Seperti apa sejarahnya? #Pilpres2019 https://t.co/ZHlrkzpV2H
— detikcom (@detikcom) June 28, 2019
Contoh lain, partai Gerindra dalam usia dua dasawarsa yang relatif masih muda, telah menjadi partai politik terkuat kedua di Indonesia di bawah PDIP. Itu terjadi karena konsisten berada di luar kekuasaan (penyeimbang) sebelum berhasil menjadi partai penguasa. Bandingkan dengan partai politik lain yang redup karena menjadi bagian dari kekuasaan tapi tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya rakyat menghukum dengan meninggalkan partai politik tersebut dalam Pemilu 2019 yang baru lalu.
Sebagai sosiolog, saya menyarankan kepada partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat dan PAN dan partai Berkarya, karena MK telah menolak gugatan Prabowo-Sandi, yang berarti Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi pemenang Pilpres 2019, sebaiknya memilih menjadi partai oposisi di parlemen dan di luar parlemen.
Analisis sosiologis saya, mereka yang diluar pemerintahan (oposisi) dalam kondisi Indonesia seperti sekarang dan lima tahun ke depan, akan lebih besar mendapat apresiasi dari rakyat ketimbang menjadi follower di pemerintahan, karena partai politik yang tidak berkeringat dalam memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin tidak akan diberi karpet merah di Koalisi Indonesia Kerja.
Nama politikus PDIP Puan Maharani masuk bursa calon Ketua DPR RI periode 2019-2024. Nama Puan menguat setelah diusulkan oleh sejumlah pihak. https://t.co/UfMcIerdud
— detikcom (@detikcom) June 25, 2019
Partai dalam koalisi Jokowi tentu tak ingin popularitas AHY meningkat. https://t.co/AGr2DBYrHx
— Republika.co.id (@republikaonline) June 28, 2019
Moeldoko: Ada Kelompok Ganggu Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo https://t.co/n4LRzDJ6b7
— VIVAcoid (@VIVAcoid) June 26, 2019
"Sayangnya, bangsa ini telah kehilangan kesempatan dipimpin oleh seorang berkualitas negarawan, bukan 'salesman', amatiran," kata Fadli Zon. https://t.co/hLr6YC1KnQ
— detikcom (@detikcom) June 28, 2019
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Perjuangan hrs dilanjutkan. Bentuk perjuangan tdk hanya di eksekutif ttpi juga di parlemen (DPR dan DPRD). Sebagai Sosiolog sy usul utk kepent. bgs dan negara, P. Gerinda, PKS, P. Demokrat, PAN dan P. Berkarya jadi partai penyeimbang di parlemen dan masy. https://t.co/aAcieMb4Ou
— Musni Umar (@musniumar) June 29, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
