Setyono Djuandi Darmono, chairman Jababeka Group dalam peluncuran bukunya yang bertajuk “Bringing Civilizations Together,” di Jakarta, Kamis (4/7/2019) mengatakan pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orang tua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda.”
Pihak Jababeka meluruskan pernyataan praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono agar pendidikan agama tidak diajarkan di sekolah. #PendidikanAgama https://t.co/C5T43AhQuw
— JPNN.com (@jpnncom) July 5, 2019
Salah Memahami Agama
Pandangan Darmono tersebut setidaknya mengandung tiga kesalahan besar.
Pertama, kesalahan ideologis. Negara Republik Indonesia yang didirikan oleh founding fathers Indonesia pada 17 Agustus 2019 pasal 29 ayat UUD 1945
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Maka agama menjadi unsur yang mendasari Ketuhanan Yang Maha Esa. Dapat dikatakan tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa agama.
Oleh karena itu, seluruh bangsa Indonesia harus beragama dan negara berkewajiban mengajarkan ajaran agama kepada setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali.
Dalam hubungan itu, pendidikan agama di sekolah wajib diajarkan dalam rangka pengamalan sila pertama dari Pancasila dan pasal 29 UUD 1945.
Adalah tidak benar agama sering menjadi alat politik, karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Agama dijadikan alat politik untuk melawan ketidakadilan yang merajalela di Indonesia terutama ketidakadilan ekonomi.
Kalau sila kedua dan sila kelima dari Pancasila sudah diamalkan, pasti tidak akan laku kalau agama dijadikan alat politik.
Kedua, kesalahan teologis. Agama Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia memiliki kitab suci yang disebut Alqur’an. Alqur’an berisi petunjuk supaya umat manusia dan orang-orang yang bertakwa meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Dalam hubungan dengan umat agama lain, Alqur’an mengajarkan toleransi (tasamuh), kerjasama (ta’awun), persamaan (tawazun), berkeadaban (muhadharah) dan ajaran yang mengajarkan saling menyintai (al-hub) dan membesarkan yang kecil (lemah) dan tidak mengecilkan yang besar.
Ketiga, kesalahan sosiologis. Setyono Djuandi Darmono memiliki kesalahan yang fatal secara sosiologis karena berpandangan bahwa mereka yang radikal karena memperoleh pendidikan agama di sekolah.
Merupakan fitnah yang kejam kalau ada yang mengatakan bahwa pendidikan agama melahirkan radikalisme. Para guru agama selain memberikan pendidikan agama kepada siswa di sekolah juga mengajarkan budi pekerti (akhlak mulia) karena di dalam ajaran Islam sarat dengan pendidikan budi pekerti.
Sebagai sosiolog, saya yakin pendidikan agama di sekolah tidak menjadikan para siswa menjadi radikal seperti yang dikemukakan Darmono.
Begitu juga pemisahan antara siswa dalam pendidikan agama, sama sekali tidak menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Tidak ada bukti, adanya pendidikan agama yang memishkan siswa-siswa yang beda agama menghadirkan perpecahan dan menghilangkan sikap toleransi siswa dan rasa kebinekaan.
Usulan Agar Pendidikan Agama Tidak Perlu Diajarkan di Sekolah2 di Indonesia, adalah juga bagian dari Gerakan Politik Identitas Sekularisme. Dan identitas spt itu tak sesuai dg Pancasila, dan ketentuan UUDNRI 1945;pasal 29 ayat 1,pasal 31 ayat 3&5. https://t.co/QVbu7a5P8C
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) July 5, 2019
Wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah tengah merebak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menyatakan menolak jika ada penghapusan tersebut. Menurut KPAI, pendidikan agama masih relevan saat ini.https://t.co/haamBrzn9a pic.twitter.com/zeBIJrYvKg
— VIVAcoid (@VIVAcoid) July 6, 2019
Menag @lukmansaifuddin menegaskan, pendidikan agama adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari bangsa ini. Sebab, mengamalkan ajaran agama hakikatnya adalah wujud dari pengamalan masyarakat sebagai warga negara.https://t.co/1OKnr0tMM6
— Kementerian Agama RI (@Kemenag_RI) July 6, 2019
Politik Identitas
Saya juga tidak percaya politik identitas yang ada dalam Pemilu di Indonesia adalah karena pendidikan agama di sekolah.
Di Amerika Serikat sebagai contoh, tidak ada pendidikan agama di sekolah, tetapi masyarakatnya masih mengamalkan politik identitas dalam pemilihan umum.
5. Politik identitas sebenarnya merupakan gejala klasik yang normal terjadi di berbagai negara. Bahkan, negara demokrasi yang telah berusia cukup tua dan dipandang maju budaya politiknya seperti Amerika Serikat masih menghadapi tantangan politik identitas. #PolitikIdentitasPKS
— Aji Teguh (@BungAji) April 9, 2019
Politik identitas, ada masyarakat yang mendasarkan pada identitas agama, ada juga identitas etnis (suku), budaya dan kesamaan latar belakang.
Untuk menghilangkan radikalisme, intoleransi, kebencian terhadap kelompok tertentu dan perpecahan di kalangan bangsa Indonesia, bukan menghapus pendidikan agama di sekolah, tetapi amalkan Pancasila seluruhnya secara murni dan konsekuen terutama sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
https://t.co/tOh0udvUEJ Prof Dr Mhd Izani Mhd Zain dlm seminar internasional di Univ. Ibnu Chaldun berkata bhw politik identitas semakin kuat di Malaysia
— Musni Umar (@musniumar) March 28, 2019
Politik Identitas sdh diamalkan diberbagai daerah di Indonesia. Di Papua misalbya, untuk jadi Gub. yg dipilih org Papua beragama Nasrani. Di Manado, NTT gubernur dan para Bupati mesti org Manado dan NTT yg beragama Nasrani. Apa ini bukan politik identitas? https://t.co/gDmJPSJZ7z
— Musni Umar (@musniumar) April 7, 2019
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Pendidikan Agama di sekolah mrpkn implementasi sila pertama dr Pancasila dan psl 29 UUD 1945. Mrk yg berpendpt pendik Agama di sekolah tdk diperlukan, sebaiknya membaca tulisan sy. Tiga kesalahan Darmono yg harus diperbaiki. https://t.co/E0Au1jy65C
— Musni Umar (@musniumar) July 7, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
