Para calon anggota parlemen (caleg) di semua tingkatan yang pernah bertemu dengan saya pasca Pemilu 17 April 2019 mengatakan bahwa tingkat kesulitan untuk terpilih kembali menjadi anggota parlemen sangat berat. Ini merupakan salah satu isu dalam Demokrasi dan Pemilu di Indonesia.
Setidaknya ada enam alasannya.
Pertama, masyarakat bawah hanya mau memilih seorang caleg kalau diberi uang.
Kedua, rakyat menerima uang dari berbagai caleg. Akan tetapi, yang dipiilih caleg yang memberi uang lebih besar.
Tdk ada mantan caleg yg tdk berkeluh kesah ttg politik uang. Rakyat tdk mau pilih klu tdk diberi uang jlng hr pencoblsn. Pilpres, pileg, pilkada dan pilkades sdh jadi arena dagang. Rakyat mau pilih kalau diberi uang. Yg beri uang lebih bsr itu dipilih. https://t.co/V1ZnMNG2HV
— Musni Umar (@musniumar) June 30, 2019
Ketiga, rakyat tidak bisa dipegang omongannya. Sudah tumbuh prilaku munafik.
Keempat, masyarakat sudah permisif, serba boleh, tidak ada yang haram.
Kelima, besarnya biaya politik. Relawan, tokoh masyarakat, keluarga dan para pemilih ingin diperhatikan. Untuk memperhatikan mereka, butuh dana yang besar. Sementara anggota parlemen tidak boleh berbisnis dan bahkan jadi dosenpun tidak bisa.
Keenam, hukum tidak ditegakkan. Netralitas PNS/ASN, dan aparat dipertanyakan.
Pilkada itu tak sebatas bicara Kandidat, Parpol, dan Timses. Ada peran Konsultan Komunikasi-Politik dan Media, juga Pelaku Bisnis di sana. Taruhannya adalah ruang hidup rakyat dan kekayaan alam #PilihSiapa #IjonPolitik pic.twitter.com/wgsjl4ziNF
— JATAM Nasional (@jatamnas) March 12, 2018
Biaya politik yang tergolong mahal membutuhkan biaya yang besar. Kampanye yang menelan biaya besar pun transparansinya kadang diragukan. Begini penjelasannya.#ValidNih https://t.co/kuowsWzGim pic.twitter.com/O8C8DP4Xxh
— Validnews Indonesia (@validnewsid) March 3, 2019
Mengapa ini Terjadi?
Sangat banyak faktor yang mempengaruhi rakyat berprilaku seperti di atas. Antara satu faktor dengan faktor lain saling berkaitan dan bisa juga sama sekali tidak terkait.
Sekurang-kurangnya ada 6 faktor yang menyebabkan rakyat menghalalkan segala cara dalam Pemilu.
Pertama, agama hanya sebagai simbolik dan ritual. Tidak dihayati dan diamalkan nilai-nilai agung dalam agama seperti kejujuran dan kebenaran, korupsi dan sebagainya.
Kedua, tidak ada yang memberi contoh dan teladan kepada rakyat, yaitu satunya kata dan perbuatan.
Ketiga, rakyat pada umumnya masih miskin. Akibatnya mereka menjadikan Pemilu sebagai sarana mencari uang.
Keempat, tingkat pendidikan rakyat pada umumnya masih rendah. Dampaknya rakyat berfikir instan, pragmatis dan jangka pendek.
Kelima, rakyat melakukan imitasi terhadap orang atas (pejabat). Suap kepada pejabat dicari alasan pembenarannya yang disebut basyirah (menyenangkan). Politik uang kepada rakyat jelata disebut sedekah, sehingga tidak merasa dosa melakukan sogok menyogok yang dilarang oleh hukum.
Keenam, hukum hanya tegak kepada lawan, tidak tegak untuk semua. Mahkamah Konstitusi (MK) yang didirikan pasca reformasi, gagal menghadirkan rasa keadilan rakyat. Dampaknya putusan MK terhadap pemenang pemilihan Presiden 2019 tidak mengakhiri kisruh politik malah sebaliknya.
Sbgi sarjana hkm sy hormati dan terima putusan MK tp sbgi sosiolog sy sedih putusan MK tdk hadirkan rasa keadilan rakyat. Dampaknya sy duga rakyat tolak ptsn MK, tetap demo, lebih sedih lagi kasus ini mau dibawa ke Mahkamah Internasional cari keadilan https://t.co/F7ZbI9qjCF
— Musni Umar (@musniumar) June 27, 2019
MK mreduksi dirinya sbg tempat cari kebenaran d keadilan. Hny bersidng 5 kl 15 saksi sdh mutus tdk terbukti ada kecurangan Pilpres. Ini melukai rasa keadilan rakyat. Bandingkan sidg Jessica ditdh bunuh Mirna bersidng 27 kl saksi ahli dihdrkan dr Australiahttps://t.co/0JaqexZIyp
— Musni Umar (@musniumar) July 2, 2019
Harus Melakukan Apa?
Tidak mudah memperbaiki rakyat Indonesia seperti dikemukakan di atas.
Walaupun begitu, harus ada gerakan dari masyarakat madani (civil society) untuk memperbaiki rakyat Indonesia.
Setidak harus dilakukan secara masif dan bersama-sama. Sebaiknya dilakukan sebagai sebuah gerakan kebudayaan.
Pertama, mengukuhkan kembali peran orang tua dalam pendidikan di lingkungan keluarga untuk mengajarkan nilai-nilai kemuliaan seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, kerendahan hati, kesabaran, ketabahan, belajar keras untuk mengubah nasib dan sebagainya.
Orang tua punya peran sangat penting dalam pendidikan anak. Kamu sepakat? #Hardiknas2019 #HariPendidikanNasional pic.twitter.com/GT4TyXIgRl
— INDONESIAinLOVE (@INDONESIAinLOVE) May 2, 2019
Keluarga merupakan miniatur negara. Jika keluarga baik, maka baiklah negara. Sebaliknya jika keluarga rusak, maka rusaklah negara. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga harus mendapat prioritas dalam pembangunan.
Kedua, sekolah sebagai institusi kedua sesudah keluarga harus didayagunakan secara maksimal untuk membangun manusia Indonesia yang memahami, menghayati dan dilatih untuk mengamalkan nilai-nilai kemuliaan, berakhlak mulia, dan kesungguhan belajar keras untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga, masyarakat harus bersama-sama membangun lingkungannya yang kondusif, di mana tumbuh lingkungan yang saling menyintai, saling membantu, saling menolong dan saling nasehat menasehati serta saling mengawasi satu dengan yang lain.
Masyarakat melalui konsep gotong-royong, membesarkan yang kecil, sehingga yang miskin dan belum beruntung dapat maju, dan tidak berusaha mengecilkan yang besar.
Keempat, media harus berperan membangun kesadaran rakyat untuk membangun kebersamaan, demokrasi, dan pemilu kedepannya. Media harus menyuarakan kebenaran dan keadilan. Media sebagai watchdog (penjaga) kebenaran dan keadilan tidak boleh dipasung oleh penguasa dengan alasan stabilitas. Kalau dipasung, maka akan menutup kebenaran dan keadilan dan yang nampak hanya kepalsuan dan kebohongan.
Media bebas dan merdeka mrpkan instrumen demokrasi. Tdk ada demokrasi tanpa pers yg bebas dan bertanggungjwb. Persepsi publik saat ini, media mainstream dibungkam. Ttp Mudaratnya lbh bsr dr manfaatnya krn ada medsos sebagai pelarian utk kritik pemerintah https://t.co/2B9wDD9JWs
— Musni Umar (@musniumar) May 12, 2019
Kelima, parlemen (DPR dan DPRD) di semua tingkatan harus meningkatkan perannya untuk mewujudkan hak budget (anggaran) guna menolong golongan miskin dan meningkatkaan anggaran beasiswa bagi anak-anak miskin yang mau melanjutkan pendidikan tinggi.
Selain itu, parlemen di semua tingkatan harus semakin melakukan pengawasan untuk mencegah merajalelanya penyalahgunaan kekuasaan, karena kekuasaan dimanapun cenderung korupsi seperti kata Lord Acton (1834-1902): “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.”
Tata pemerintahan yang baik adalah sebuah proses bagi institusi publik melakukan urusan publik, mengelola sumber daya publik dan menjamin terwujudnya hak asasi manusia dengan cara yang bebas dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum lainnya.
— KONTRAS (@KontraS) June 22, 2018
Lord Acton – Power corrupts, and absolute power… https://t.co/MAV2E4KZ7w ☜ More Free Quotes! #quoteoftheday #inspiration #motivation pic.twitter.com/fUAm9VwpAe
— Quoteopolis (@Quoteopolis01) July 4, 2019
Dengan melakukan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka diharapkan terjadi perubahan dan kemajuan dalam kehidupan demokrasi dan Pemilu dan hasilnya yang bisa menghadirkan kemajuan golongan miskin dan putera-puteri Indonesia dari kalangan yang orang tuanya kurang berpendidikan.
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Pemilu dan Pilkada tlh jadi sarana jual beli suara. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tdk mau mmlih kalau tdk dibayar. Lebih malang lagi siapa yg bayar lebih besar, dia yg dipilih. Apa sebabnya dan apa yg bisa dilakukan.Baca analisis saya sebagai sosioloh https://t.co/RsiXyfcv2C
— Musni Umar (@musniumar) July 8, 2019
Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
