Demokrasi yang sering dimaknai bahwa kedaulatan ditangan rakyat, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, dari perspektif sosiologis belum wujud dalam kenyataan. Demokrasi dan kegagalan mengurangi jumlah orang miskin secara signifikan.
Pembangunan dibawah panji demokrasi selama 21 tahun di era Orde Reformasi, belum berhasil “memajukan kesejahteraan umum” sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam sila kelima dari Pancasila.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Indonesia turun. Angka kemiskinan tercatat 9,41% atau setara 25,14 juta orang pada Maret 2019 atau lebih rendah dibanding September 2018 sebanyak 9,66%.
Berapa jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia menurut pulau dan provinsi?
Berapa garis kemiskinan provinsi DKI Jakarta?Jawabannya bisa dilihat di https://t.co/CACPeS4vbY ya #SahabatData! pic.twitter.com/Lah6zUOK6D
— Badan Pusat Statistik (@bps_statistics) July 15, 2019
Jumlah 25,14 juta orang miskin versi BPS masih sangat besar jumlahnya, tidak terlalu jauh dari jumlah penduduk Malaysia tahun 2019 sekitar 32.6 juta jiwa.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Darmin Nasution mengatakan bahwa “Angka kemiskinan turun ke 9,41%, Itu Nggak Mudah!” Detikfinance (15/7/2019).
"… Tingkat kemiskinan tidak terlalu sulit lah, dikombinasi pertumbuhan yang naik, tingkat kemiskinan turun banyak negara bisa. Tapi kalau tiga-tiganya, empat-nya bareng itu tidak mudah," jelas Darmin. #EkonomiRI
via @detikfinance https://t.co/c7iC05Eb88
— detikcom (@detikcom) July 15, 2019
Belanja rokok merupakan anggaran belanja no 2 terbesar setelah beras, dilanjutkan dengan lauk pauk, pendidikan, dan kesehatan.
Produk yg destruktif, dikonsumsi sangat banyak melebihi makanan berprotein/ vitamin. Itu cm di Indonesia..https://t.co/HnZfeFgMI0— #TanyaMenkes (@FCTCuntukID) July 16, 2019
Sebagai sosiolog, saya apresiasi terjadi penurunan angka kemiskinan, sehingga tercatat sebesar 9,41%, atau setara 25,14 juta orang.
Akan tetapi, saya tetap prihatin karena penurunan angka kemiskinan itu tidak signifikan. Sangat kecil penurunannya.
Pada hal biaya demokrasi dalam Pemilu sangat besar. Sebagai contoh, alokasi anggaran Pemilu 2019 dianggarkan Rp 25 59 triliun. Sementara hasil Pemilu amat tidak memuaskan bagi publik.
Pemilu dan Pilkada tlh jadi sarana jual beli suara. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan tdk mau mmlih kalau tdk dibayar. Lebih malang lagi siapa yg bayar lebih besar, dia yg dipilih. Apa sebabnya dan apa yg bisa dilakukan.Baca analisis saya sebagai sosioloh https://t.co/RsiXyfcv2C
— Musni Umar (@musniumar) July 8, 2019
Tidak sepantasnya kita bangga dan membusungkan dada karena orang miskin di Indonesia masih sangat besar jumlahnya. https://t.co/MipmGaMqsK
— Musni Umar (@musniumar) February 25, 2019
Selain itu, dampak ekonomi dan sosial dari hasil Pemilu selama 21 tahun di era demokrasi belum berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak yang ditandai dengan turunnya angka kemiskinan secara signifikan.
Juga perlu dicatat bahwa angka kemiskinan turun, tetapi garis kemiskinan yang menjadi patokan BPS dalam mengukur jumlah orang miskin, tidak rasional karena terlalu kecil jumlahnya.
Badan Pusat Statistik menetapkan batas kemiskinan secara nasional sebesar Rp 401.220/kapita (kepala). Dikatakan sudah tidak miskin jika berpenghasilan Rp 401.220 atau Rp 13.000/hari/kapita.
Kalau garis kemiskinan di DKI sebesar Rp 593.108/kapita/kepala. Jika dibagi 30 hari kerja, maka batas garis kemiskinan di DKI sebesar Rp 19.770/kapita/hari.
Dalam acara Badan Kesatuan Bangsa DKI Jakarta di Cisarua Bogor (10/7/2019) yang ikuti ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di DKI Jakarta, saya tanya bisakah mereka hidup perhari dengan Rp 19 770, semua menjawab tidak bisa. Kalau dengan penghasilan Rp 19.770/hari tidak bisa hidup, apatah lagi dengan penghasilan Rp 13.000/hari.
Mhs Indonesia hrpn bgs dan negara. Jumlah mhs 7,5 juta dr 267 juta populasi Indo. Mhs di posisi penting dan strategis sbgi pelanjut bgs dan negara di ms depan. Mk mhs tdk blh dimnr gading. Hrs sll bersm rakyat kawal pm agar Indo. selamat dr nekolim https://t.co/8nqj3J1mrg
— Musni Umar (@musniumar) July 11, 2019
Kalau batas garis kemiskinan ditetapakan misalnya Rp 1.000.000/bulan atau Rp 33.333/hari, kemiskinan bisa meningkat dua kali lipat. Pada hal berpenghasilan sebesar Rp 33.333/hari di DKI dan kota besar lainnya masih belum cukup untuk hidup layak.
Dari gambaran di atas, dapat dikemukakan bahwa jumlah orang masih besar jumlahnya, tergantung besar kecilnya garis kemiskinan yang ditetapkan BPS.
Dalam era demokrasi, tugas mulia yang harus diemban oleh para pemimpin ialah hasil demokrasi melalui Pemilu, suka tidak harus diperjuangkan dan diwujudkan meningkatnya secara signifikan kesejahteraan umum seluruh rakyat yang berarti menurunnya jumlah orang miskin secara signifikan.
"26 juta penduduk Indonesia yang miskin, yang hidup di bawah standar garis kemiskinan itu ternyata lebih besar dari total penduduk Australia. Jadi kembali lagi menangani Indonesia tidak gampang,". #Bappenas
via @detikfinance https://t.co/lWks0acopZ
— detikcom (@detikcom) April 10, 2019
Secara umum, Angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2019 tercatat mengalai penurunan ke 9,41% dari posisi bulan September 2018. Begini data dan faktanya: #Kemiskinan
via @detikfinance https://t.co/66aNcS430a
— detikcom (@detikcom) July 15, 2019
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Demokrasi slm 21 thn di era reformasi, hasilnya blm mampu memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jumlah org miskin di negara kita masih sangat besar, lebih besar dari penddk Australia hampir setara penddk Malaysia https://t.co/Jg77PkewNA
— Musni Umar (@musniumar) July 17, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
