Dalam diskusi terbatas Forum Diskusi Insan Cita Sejahtera – Fordis ICS KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) tanggal 17 Juli 2019, para pembicara menyampaikan evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak yang amat buruk, pemilu amburadul.
Sejak penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai penghitungan suara berjenjang telah menimbulkan masalah karena ditengarai sarat dengan kecurangan yang disebut terstruktur, sistimatis dan masif (TSM).
Pemilu semacam ini tidak bisa dibiarkan karena menimbulkan banyak mudarat ketimbang manfaat.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukaun untuk mencegah terulangnya kecurangan TSM.
Pasca Pemilu, Indonesia memasuki sItuasi yg amat berbahaya akibat dugaan kecurangan Pilpres yg disebut Terstruktur, sistimatis dan masif. masing2 Paslon Capres klaim menang Pilpres. Apa solusinya? https://t.co/cdxwW5bDCn
— Musni Umar (@musniumar) April 28, 2019
Tulisan ini merupakan intisari dari hasil diskusi terbatas Fordis ICS Kahmi. Sy tulis kembali utk jadi bahan renungan berdasar pengalaman dari negara lain. Sy upload kembali utk dibc skl lagi smg menumbuhkan kesadaran bersama utk lebih hati2 dan waspada. https://t.co/xPQY1RXxpe
— Musni Umar (@musniumar) July 21, 2019
Jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia terus bertambah karena beban kerja berat dalam pemilu kali ini. Seharusnya ada evaluasi total terhadap sistem pemilu yang melelahkan ini.https://t.co/0kbYveonR8 pic.twitter.com/JmK6TIEgcC
— tirtoid (@TirtoID) April 23, 2019
Ubah Sistem Pemilu
Bangsa Indonesia telah selesai menyelenggarakan pemilu serentak yaitu pemilihan umum Presiden dan pemilihan umum anggota legislatif.
Pemilu serentek yang dianggarkan biayanya di APBN sekitar Rp 25 Triliun, hasilnya sangat mengecewakan rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan rakyat.
Setidaknya ada tiga penyebab rakyat kecewa dan marah terhadap penyelenggaraan Pemilu serentak.
Pertama, penetapan daftar pemilih telah menimbulkan persoalan karena ditengarai banyak sekali pemilih yang ganda.
Kedua, dalam pelaksanaan pemilu, diduga keras aparat birokrasi dan aparat keamanan tidak netral.
Ketiga, pelaksana pemilu yaitu KPU berdasarkan laporan Bawaslu, banyak yang tidak netral.
Oleh karena itu, sistem pemilu harus diubah dari sistem manual yang berjenjang dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), kotak suara dibawa ke Kecamatan, terus ke Kabupaten dan Kota. Perjalanan kotak suara yang panjang dan lama merupakan sumber kecurangan pemilu.
Sistem ini harus diubah dengan menggunakan teknologi. Rakyat yang menyoblos hasilnya langsung masuk ke pusat data dan sore hari atau sekurang-kurangnya pada malam hari hasil pemilu sudah diketahui siapa pemenangnya seperti di negara demokrasi.
Mengubah sistem pemilu akan mengurangi potensi kecurangan dan menghemat biaya.
Rambu2 berupa UU dan PP tlh dibuat agar PNS netral dlm politik dan Pemilu. Faktanya PNS ttp tdk bisa netral. Penguasa dipusat dan daerah mmaksa mrk utk tdk netral. Akibatnya Pemilu dan Pilkada sulit berlangsung jurdil. Apa solusinya? Baca tulisan sy hr ini https://t.co/Bi5EaJCUAS
— Musni Umar (@musniumar) July 9, 2019
Konsep #e-voting bisa menjadi alternatif sistem #pemilu di Indonesia. Meski pro & kontra masih terjadi, namun sistem e-voting merupakan solusi yg efektif untuk pemilu yg akan datang. Kalo kamu bagian pro atau kontra?#IndonesiaBaik #YangMudaSukaData #Infografis #pemiludamai #kpu pic.twitter.com/xi5EU8dcqp
— Indonesia Baik (@IndonesiaBaikId) May 10, 2019
Parpol Penyelenggara Pemilu
Berikut pendapat MS Kaban tentang pemilu di Indonesia.
https://twitter.com/hmskaban/status/1070640813208530944
https://twitter.com/hmskaban/status/1111776863272079360
Mengapa pemilu disaat itu bisa dilaksanakan lebih luber (langsung umum bebas rahasia) dan lebih jurdil (jujur adil) ketimbang setelah penyelenggara pemilu diserahkan seperti sekarang.
Adapun penyebabnya, pertama, tidak ada check and balance di internal penyelenggara pemilu. Tidak ada saling mengawasi di diantara sesama pelaksana pemilu.
Kedua, mudah di intervensi oleh kekuatan dari luar (cukong dan penguasa). Walaupun penyelenggara pemilu memakai baju “independen,” sejatinya tidak independen karena mereka dipilih oleh kekuatan politik di parlemen yang pro pemerintah. Jadi mereka merupakan perpanjangan tangan dari kekuatan yang sedang berkuasa.
Ketiga, untuk menghadirkan pemilu yang lebij berkualitas, cepat, murah, lebih terpercaya dan kedaulatan rakyat tidak dicederai dengan kecurangan seperti yang dirasakan oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, peserta diskusi terbatas Fordis ICS Kahmi sepakat untuk menyelamatkan demokrasi dengan mengusulkan perubahan sistem pemilu sekarang dan mengembalikan penyelenggara pemilu kepada partai-partai politik yang memiliki perwakilan di DPR dan DPRD.
[Infografis] Wacana E-Rekapitulasi Pemilu pic.twitter.com/mLqDhdJAom
— DPR RI (@DPR_RI) July 9, 2019
Banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ditengarai akibat rumitnya sistem pemilu di Indonesia.https://t.co/hfGhSnGzME
— DW Indonesia (@dw_indonesia) April 30, 2019
Berikut foto-foto peserta diskusi terbatas Fordis ICS Kahmi yang dihadiri para tokoh senior dan Sekjen Majelis Nasional Kahmi Manimbang Kaharyadi di Kahmi Center (17/7/2019)
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Diskusi terbts Fordis ICS Kahmi rekomendasikan perubahan sistem pemilu yg berbiaya mhl, lama, dan sarat dgn dugaan kecurangan, diubah sistemnya jadi e-voting, penyelenggara pemilu sebaiknya parpol peserta pemilu agar ada check balance yg saling mengawasi. https://t.co/mEJedW4zB6
— Musni Umar (@musniumar) July 22, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
