Negara bagaikan sebuah rumah tangga. Ada kepala rumah tungga sebagai pemimpin rumah tangga dan anggota keluarga. Begitu pula negara, ada Presiden sebagai pemimpin negara, dan penduduk sebagai warga negara.
Sebagaimana dirumah tangga, anggota keluarga wajar kalau banyak maunya, seperti ingin punya mobil baru, rumah baru dan lain sebagainya.
Akan tetapi, kepala keluarga yang baik harus selalu melihat dan mengukur kemampuan keuangan rumah tangga. Kalau mau beli mobil baru, apakah logis dan tidak membebani keluarga di masa depan, utang sudah banyak, mau beli mobil baru?
Begitulah tamsil secara sederhana, wacana mau beli mobil baru yang mewah untuk mengganti mobil menteri sekarang yang juga mewah walau sudah berumur lebih kurang 10 tahun.
Indonesia pilih mobil mewah asing untuk mobil dinas pejabatnya. https://t.co/LzMnPenWu8
— kumparan (@kumparan) August 23, 2019
Sah, Menteri Jokowi Akan Pakai Mobil Harga Setengah Miliar https://t.co/pzUqqnrzGj
— VIVAcoid (@VIVAcoid) August 23, 2019
Imbauan dari Jokowi untuk lebih efisien tampak berseberangan dengan realitasnya. Sebab, pemerintah sedang dalam proses pengadaan mobil baru buat presiden, wakil presiden, dan menteri kabinet Jokowi-Ma’ruf mendatang. Ngeeng~https://t.co/SF73pWPSxs
— tirtoid (@TirtoID) August 24, 2019
Tidak Tepat Beli Mobil Baru
Wacana mau beli mobil baru, sah-sah saja, tetapi harus dilihat dari kemampuan keuangan negara.
Untuk menentukan tidak layaknya saat ini membeli mobil baru apalagi mobil mewah, tidak perlu pendapat dari seorang ekonom senior, rakyat jelata yang menggunakan akal sehat, bisa mengatakan, tidak tepat membeli mobil baru apalagi mobil mewah saat ini.
Setidaknya ada lima alasan untuk menolak membeli mobil baru yang pasti mobil mewah.
Pertama, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negata amat besar, yang dapat disebut sudah berdarah-darah (blooding). Sebagai gambaran, tahun 2019 defisit anggaran dalam APBN yang telah disahkan dalam sidang paripurna DPR RI sebesar Rp 296 triliun (TribunJabar, 31 Oktober 2019). Defisit tersebut ditutup dengan utang baru.
Kedua, utang Indonesia sudah sangat besar. Menurut Indef: total utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp7.000 triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta (Kompas.com, 21 Maret 2018).
Utang Indonesia terus bertambah tiap saat, bisa disebabkan kurs rupiah jatuh terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat ataupun disebabkan utang baru dan bunga utang.
Ketiga, penerimaan negara lebih kecil ketimbang jumlah pengeluaran negara, sehingga berlaku pepatah “besar pasak daripada tiang.”
Keempat, ekonomi Indonesia masih payah. Pertumbuhan okonomi yang dijanjikan sebesar 7 persen dalam kenyataan hanya sekitar 5 persen. Dampak rendahnya pertumbuhan ekonomi, jumlah pencari kerja setiap tahun sebanyak 2.5 juta tidak bisa terserap.
Apalagi akhir-akhir ini banyak perusahaan yang tutup atau mengalami masalah, sehingga banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kelima, penduduk Indonesia masih sangat banyak yang miskin. Penduduk yang miskin menurut BPS terus mengalami penurunan. Jumlah penduduk miskin Maret 2018 mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen).
Penduduk miskin jumlahnya kecil kalau garis kemiskinan dibuat rendah (kecil). BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp 401.200/bulan perkepala atau Rp 13 000/kepala perhari.
Bayangkan, jika garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp50.000/hari perkepala, atau Rp1.500.000/bulan perkepala. Berapa jumlah orang miskin di Indonesia.
Pemerintah akan mencari utang untuk menambal angka defisit anggaran. https://t.co/SqggG5XEXb
— kumparan (@kumparan) August 16, 2019
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal II 2019 sebesar 391,8 miliar dollar AS. https://t.co/ODX67qZcUj
— Kompas.com (@kompascom) August 15, 2019
Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno menyebut setiap anak di tanah air kini harus menanggung beban utang negara Rp 13 juta. Apa respons Sri Mulyani? https://t.co/rbwPuCBINr
— DetikFinance (@detikfinance) January 2, 2019
Atasi Masalah Rakyat
Salah satu tujuan kita merdeka yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 ialah memajukan kesejahteran umum.
Pergolakan di Papua sebagai contoh, akar masalahnya karena masih rendahnya kesejahteraan rakyat. Begitu juga diberbagai daerah lain di Indonesia, mudah terjadi kerusuhan dan konflik karena banyak pengangguran dan kemiskinan.
Oleh karena itu, sebaiknya dana untuk membeli mobil mewah untuk para menteri dan pejabat negara dialihkan untuk membangun lapangan kerja dan kesejahteraan rakyat.
Dayakan mobil para menteri dan pejabat yang ada sekarang. Fokuslah pembangunan kesejahteraan rakyat dan penghematan anggaran, sehingga terwujud tujuan kita merdeka.
Semoga tulisan ini menjadi sumbangsih dan partisipasi dalam membangun bangsa dan negara yang kita cintai bersama.
Pemerintah memutuskan untuk memangkas subsidi energi dalam RAPBN 2020 menjadi Rp137,5 triliun.
Wah anggaran dipangkas, harga-harga bakal naik juga nga ya…https://t.co/LB4OgS3BVb
— tirtoid (@TirtoID) August 21, 2019
Selain Jagorawi dan Jakarta-Tangerang, ruas tol lain yang tarifnya akan naik tahun ini adalah Tol Dalam Kota Jakarta. https://t.co/WRbPVTdnCY
— kumparan (@kumparan) August 22, 2019
Kontroversi pin emas untuk anggota dewan masih berlanjut, bahkan kini naik level. Tak hanya di DPRD DKI, pembahasannya berkembang hingga ke DPR. https://t.co/zIYK73zfOd
— detikcom (@detikcom) August 23, 2019
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Beli mobil baru wajar kalau punya uang lebih. Ttpi Indonesia tdk wajar dan tdk masuk akal beli mobil baru apalagi mbl mewah. Mslhnya banyak utang dan defisit APBN amat besar.https://t.co/J8ED0HNNGb
— Musni Umar (@musniumar) August 23, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
