Presiden Jokowi di akhir pemerintahannya periode pertama, menghadapi banyak sekali masalah, diantaranya demo mahasiswa yang amat besar karena diikuti mahasiswa dari seluruh kampus di Indonesia. Pada saat yang sama, di berbagai daerah di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan terjadi kebakaran hutan, yang dampak negatifnya telah sampai di Malaysia, Singapura dan negara lain.
Mahasiswa dari berbagai kampus seluruh Indonesia turun di jalanan memprotes berbagai RUU yang dianggap tidak memihak kepada rakyat.
Di Jakarta, demonstrasi dipusatkan di depan gedung DPR/MPR RI jalan Jenderal Gatot Subroto.
Sementara demonstrasi di berbagai daerah, pada umumnya difokuskan di DPRD setiap daerah.
Sejak Presiden Jokowi memimpin Indonesia tahun 2014, sebagaimana dikemukakan di atas, demontrasi mahasiswa 23-24 September 2019 merupakan demo berbesar karena demo tidak hanya di Jakarta, tetapi di seluruh Indonesia.
Selain itu, kita prihatin, pada saat demo mahasiswa di depan gedung DPR/MPR RI 23 September 2019 dan diberbagai daerah, terjadi demo pelajar di Wamena, Papua Barat. Demo tersebut berlangsung rusuh dan anarkis serta merenggut banyak nyawa, terjadi pembakaran gedung pemerintah seperti kantor Bupati, dan banyak toko milik rakyat.
Anies menyampaikan ke para mahasiswa itu, biaya perawatan ditanggung Pemprov DKI Jakarta. https://t.co/wDZmw4UiEd
— kumparan (@kumparan) September 25, 2019
Sekitar 700 mahasiswa berangkat dari kampus Universitas Pancasila mengaku kecewa dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. https://t.co/whWCDFBJIX
— TEMPO.CO (@tempodotco) September 24, 2019
Tuntutan Mahasiswa
Mahasiswa dapat dikatakan sebagai pengawal nurani rakyat. Jika tidak ada yang krusial pada rakyat, mereka tidak turun ke jalanan secara masif.
Pada akhir masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019, muncul berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) seperti Revisi RUU KPK, RUU KUHP, RUU Agraria, RUU Pemasyarakatan, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan lain-lain.
Mahasiswa dan publik amat sayangkan karena RUU yang mau disahkan tidak partisipatif, aspiratif dan presisi (dibuat dengan penuh ketelitian dan ketepatan).
Sejatinya selama lima tahun, DPR atau pemerintah bisa mengundang para akademisi untuk curah pendapat terhadap isu-isu yang akan dimuat dalam pasal-pasal pada RUU yang akan dibahas di DPR RI.
Jangan seperti sekarang, menjelang berakhir masa bakti DPR RI baru dikebut pembahasan RUU secara kilat tanpa melibatkan partisipasi dan memperhatikan aspirasi rakyat serta ketelitian dan ketepatan (presisi).
Demo Tolak RKUHP dan UU KPK Disorot Media Dunia https://t.co/gdvqATqT1V
— MSNIndonesia (@MSNindonesia) September 25, 2019
.@anandabadudu, eks jurnalis nasional, menggalang dana melalui Kitabisa dengan isu 'Dukung Aksi Mahasiswa di Gedung DPR 23-24 Sept'. Nanda menggalang dana sejak Minggu (22/9) untuk makanan, minuman, dan mobil komando untuk berdemo. #HidupMahasiswa https://t.co/HwZQCGmKX6 pic.twitter.com/Pc2i7Uf8ZL
— kumparan (@kumparan) September 24, 2019
FOTO : Raut Letih, Puing dan yang Tersisa Usai Demo DPR https://t.co/YGVaSe6bzp
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) September 25, 2019
Atasi Karhutla dan Papua
Menurut saya mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tidak ada salahnya, bahkan baik jika negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura disambut baik partisipasi mereka untuk melakukan pemadaman Karhutla.
Era sekarang adalah era kolaborasi (kerjasama) untuk membuat sesuatu produk atau menyelesaikan suatu masalah.
Apalagi dampak negatif dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah dirasakan oleh rakyat Malaysia, rakyat Singapura dan negara-negara lain.
Pada hakikatnya pemerintah Malaysia dan pemerintah Singapura kalau membantu Indonesia dalam memadamkan kebakaran, sejatinya membantu rakyat mereka yang sudah terpapar asap pekat akibat Karjutla.
Oleh karena itu, tidak sepatutnya pemerintah Indonesia menolak bantuan Malaysia dan Singapura untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Papua Berdarah Lagi, Inilah yang Dilupakan Presiden Jokowi https://t.co/SBIjfTI7Oz
— TEMPO.CO (@tempodotco) September 25, 2019
Papua kembali membara. Dua aksi di Jayapura dan Wamena berujung kerusuhan. Begini kejadiannya: #Wamena #WamenaRusuh https://t.co/nbd4Prpok3
— detikcom (@detikcom) September 24, 2019
Sangat sdrhn yg rakyat butuhkan bkn Trans Papua, Trans Jawa, Trans Sumatera dll. Gub. Papua kmkkn: yg rakyat perlukan guru dan kehidupan. Faktanya rakyat tdk dpt manfaat dari pemb. mrk tetap miskin dan terkebelakang. Wajar rakyat marah seperti di Papua https://t.co/TDPbQIAo6C
— Musni Umar (@musniumar) August 30, 2019
Menyelesaikan Papua
Harus diakui tidak mudah menyelesaikan masalah Papua.
Setidaknya ada tiga penyebabnya. Pertama, rakyat Papua (Papua dan Papua Barat) sudah sangat terpengaruh dari OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berjuang untuk merdeka dari Indonesia.
Kedua, rakyat Papua (Papua dan Papua Barat) sudah terpengaruh dari para pemimpin agama yang lebih memilih Papua merdeka seperti Timor Timur (Timor Leste).
Ketiga, negara-negara asing sudah ada yang mendukung Papua untuk merdeka seperti Papua Nugini, negara Vanuatu dan lain-lain.
Oleh karena itu, penyelesaian Papua harus komprehensif seperti melalui pendekatan kesejahteraan, pendekatan dialog dan pendekatan kemanusiaan.
Demikian juga halnya menyelesaikan masalah mahasiswa, harus diatasi melalui dialog dengan mendengarkan aspirasi mereka, mengakomodir pendapat mereka serta melakukan pendekatan kemanusiaan. Sebaiknya dihindari pendekatan kekerasan karena tidak akan menyelesaikan masalah.
Semoga tulisan ini memberi manfaat dalam upaya kita menyelesaikan tiga masalah besar yang dihadapi Indonesia.
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
Berbagai masalah Hadapi dgn dialog, kolaborasi dan pendktn kesejahteraan. Kalau mslh yg dihadapi diatasi dgn represif, perlawanan smesta akan terjadi. Atasi karhutla lebih cepat dgn kolaborasi. Papua hadapi dgn kasih dan beri kehidupan kpd mereka. https://t.co/HpYpKHwZkE
— Musni Umar (@musniumar) September 25, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
