Saya memulai tulisan ini dengan mengemukakan pernyataan Soe Hok Gie, Aktivis Indonesia Tionghoa 1942-1969
“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”
Saya juga sampaikan pandangan sebagai aktivis mahasiswa 77-78 bahwa “Dalam negara demokrasi, demonstrasi merupakan salah satu cara yang sah secara hukum untuk menyampaikan pendapat dan pikiran, tetapi dalam menyampaikan pendapat dan pikiran harus secara baik dan damai.”
Demo berlanjut dan membesar jika dilawan dgn represif bisa berdampak negatif 1) Runtuh kprcyn publik dan dunia usaha. 2) Runtuh ekonomi. 3) runtuh kehid. rakyat bawah. 4) Runtuh … Lakukan politik merangkul, politik kejujuran, hindari politik belah bambu https://t.co/sYaw5KtH0m
— Musni Umar (@musniumar) September 26, 2019
Berbagai masalah Hadapi dgn dialog, kolaborasi dan pendktn kesejahteraan. Kalau mslh yg dihadapi diatasi dgn represif, perlawanan smesta akan terjadi. Atasi karhutla lebih cepat dgn kolaborasi. Papua hadapi dgn kasih dan beri kehidupan kpd mereka. https://t.co/HpYpKHwZkE
— Musni Umar (@musniumar) September 25, 2019
Akun Twitter milik Polda Metro Jaya @TMCPoldaMetro, membuat cuitan menuduh ambulans milik Pemprov DKI Jakarta membawa batu dan bensin yang diduga untuk molotov. Menanggapi ini, Gubernur DKI Jakarta @aniesbaswedan yakin petugas medis tak bawa batu. #TopNews https://t.co/nAYLGDTZUE pic.twitter.com/1jVpuqpMDj
— kumparan (@kumparan) September 26, 2019
Selama hampir lima tahun Jokowi-JK memimpin Indonesia, tidak ada demonstrasi yang berskala besar seperti akhir-akhir ini.
Ada demo 411 dan 212 yang memiliki skala besar, tetapi pemicunya adalah pernyataan Ahok tentang surat Al Maidah ayat 51. Kemudian publik marah dan melakukan demonstrasi yang menuntut Ahok diseret di meja hijau dan akhirnya masuk penjara.
Akan tetapi demo besar yang terjadi di akhir masa bakti DPR RI 2014-2019 dan akhir masa bakti Jokowi-JK sangat mengkhawatirkan, karena bersifat masif dan para pendemonya adalah para mahasiswa dan pelajar serta mereka yang pernah terlibat dalam aksi 411 dan 212.
Sasaran akhir demo ini patut diduga adalah Presiden Jokowi.
Fraksi PKS mengkritisi revisi KUHP yang memasukkan delik penghinaan presiden dalam sidang paripurna DPR. https://t.co/Qu0CdLE4Ay
— kumparan (@kumparan) September 26, 2019
"Kalau kita bilang presiden hanya janji saja, DPR janji saja, kita jangan seperti itu. Kalau janji ya dilakuin," ujar si mahasiswa soal alasan perbaiki taman. #DemoMahasiswa #AksiMahasiswa https://t.co/pMpwQV3B67
— detikcom (@detikcom) September 25, 2019
Ikuti perkembangan terkini unjuk rasa mahasiswa menolak rancangan undang-undang dari berbagai daerah dengan klik tautan ini.#MahasiswaTolakRUU
➡️ https://t.co/rMPmWcVDWC pic.twitter.com/O0FvHHRgnU— Harian Kompas (@hariankompas) September 25, 2019
1. Tidak ada seruan penurunan Jokowi, yang ada seruan: DPR sampah!
2. Tidak ada yang menunggangi. Identitas pelaksana jelas. Panitia jernih dan cerdas.
3. Tidak bisa dihentikan. Gelombang ini gak mungkin berhenti. Makin membesar bisa. Kecuali tuntutan mrk dikabulkan. pic.twitter.com/bjhLobZftf
— Puthut EA (@Puthutea) September 23, 2019
DPR Menabur Angin
Mayoritas mahasiswa sudah lama diam. Mereka sibuk kuliah dan setelah selesai kuliah, cari pekerjaan dan cari jodoh (menikah).
Tidak dinyana atau diduga, mahasiswa merespon isu pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan isu RUU KUHP, dan isu-isu lain seperti RUU PKS, RUU Agraria, RUU Lembaga Pemasyarakatan. Kaum muda Indonesia merespon isu-isu tersebut dengan turun ke jalan dalam jumlah yang besar untuk berdemonstrasi.
Tanpa diduga, ribuan pelajar menyusul kakak-kakaknya dan masyarakat luas khususnya yang pernah demo dalam aksi 411 dan 212 ikut turun di jalan untuk melakukan demonstrasi.
Pemicu mahasiswa, pelajar dan eksponen 411 dan 212 turun ke jalanan karena ulah teman-teman anggota DPR RI sebelum mengakhiri masa bakti mereka 30 September 2019, bersama utusan pemerintah membahas secara kilat berbagai RUU yang ditengarai mencederai hak-hak demokrasi rakyat, merugikan rakyat dan terkesan melindungi para koruptor dan pemodal.
Salah satu tuntutan mahasiswa, menolak revisi UU KPK sudah dilakukan revisi oleh para anggota DPR bersama pemerintah dan sudah disahkan. Hasilnya seperti yang diduga publik, terbukti melemahkan KPK.
Ribuan mahasiswa se-Surabaya hingga Bangkalan, Madura, mulai memadati Kantor DPRD Jatim. Mereka melakukan aksi #SurabayaMenggugat menolak RUU KUHP hingga UU KPK. #DemoMahasiswa #AksiMahasiswa https://t.co/3ma7IEezVC
— detikcom (@detikcom) September 26, 2019
Mahasiswa dan alumni Unair Surabaya disebut akan bergabung dalam aksi #SurabayaMenggugat. Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap RUU KUHP hingga UU KPK. https://t.co/OMmTNY0nNB
— detikcom (@detikcom) September 26, 2019
Unjuk rasa yang berujung rusuh di DPR membuat suasana Jakarta memanas. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta warganya untuk tetap tenang dan jangan terpancing berita hoax. #AniesBaswedan #DemoDPR
via @20detik https://t.co/H2R8ppLAux
— detikcom (@detikcom) September 26, 2019
https://twitter.com/merantauuu/status/1177078748908113920
Menurut saya, revisi UU KPK dan berbagai RUU yang disebutkan di atas, merupakan jebakan maut. Tanpa disadari, para anggota DPR RI dan Menteri yang mewakili Presiden Jokowi, telah menabur angin. Jika gejolak yang tengah terjadi tidak bisa dikelola dengan baik, maka Presiden Jokowi dan pemerintahannya akan menuai badai.
Kita berdoa semoga tidak terjadi badai. Kita berharap bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia selamat dan segera ditemukan solusi damai melalui dialog.
Saran dan komentar? silahkan reply di twitter status dibawah ini (click logo biru dan reply).
DPR dan Pemerintah bagai menanam angin dgn merevisi UU KPK dan bahas berbagai RUU utk disahkan dgn menafikan partisipasi, aspirasi publik. Dampaknya mhs pelajar dan rakyat marah. Maka badaipun datang. Semoga badai sgr reda. https://t.co/Ndba0SxmFq
— Musni Umar (@musniumar) September 26, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
