Prof. Effendi Gazali, pakar komunikasi politik ketika menjadi narasumber bersama Burhanudin Muhtadi dalam peluncuran buku “Tangis Tawa Senyum” autobiografi Syarif, Anggota DPRD DKI Jakarta menyampaikan berbagai persoalan terkait isi buku yang dibedah oleh dua pakar tersohor tersebut.
Ketika moderator meminta pandangan Prof. Effendi Gazali tentang politik dan masa depan. Pakar komunikasi politik itu sangat hati-hati dalam memilih kata dan kalimat ketika memberi komentar tentang penguasa.
Berkali-kali pakar komunikasi politik itu mengatakan “aman” ketika menyampaikan pandangan tentang berbagai persoalan kekuasaan.
Prof Effendi Gazali berkata sudah baca 18 buku tdk menemukan bhw pendiri bgs Kita tdk ada yg menetapkan adanya Presidential Threshold dlm pemilihan Presiden. Burhanudin Muhtadi menyebut anomali adanya Presidential Threshold. pic.twitter.com/E4F5K5SX1S
— Musni Umar (@musniumar) October 14, 2020
Wartawan dari CNN Indonesia diintimidasi aparat saat meliput aksi. Ia mengaku dianiaya polisi, dipukul pakai tangan sekitar satu sampai tiga kali pukulan.
baca selengkapnya, di https://t.co/NQqPM0GVWm#vivacoid #uuciptakerja #omnibuslaw #wartawan #polisi #Jurnalis #demo pic.twitter.com/uAfUJNPX2a
— VIVAcoid (@VIVAcoid) October 9, 2020
Ketakutan Akademisi dan Media
Kalau sekaliber Prof Effendi Gazali, masih tidak berani menyampaikan pandangan kritis terhadap kekuasaan, apatah lagi yang lain.
Begitu pula, ketakutan media memberitakan demo UU Omnibus Law Cipta Kerja, bahkan acara ILC TV ONE Selasa, 13/10/2020 harus dibatalkan, patut diduga karena mendapat tekanan, bisa dikatakan merupakan tragedi demokrasi.
Pertanyaannya, apakah yang membuat para akademisi dan media mainstream memilih diam atau bersikap aufemisme (suara halus) ketimbang bersuara kritis dan keras?
Semua tahu senjata pamungkas untuk membungkam para akedemisi, aktivis dan pengeritik, dan demonstran atau media adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE).
Setidaknya ada lima pasal jebakan dalam UU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang banyak menghantar aktivis ke dalam penjara
Pertama, pasal 45 A ayat (2) yang berbunyi; “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kedua, pasal 45 ayat (1) berbunyi; “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Ketiga, pasal 45 ayat (4) yang berbunyi; “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Keempat, pasal 45A ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Kelima, pasal 45 ayat (3) yang berbunyi; “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Polisi Tetapkan Ketua KAMI Medan Tersangka UU ITE https://t.co/bnE1L29vee
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) October 15, 2020
"Fungsi UU ITE itu bukan untuk mengintip percakapan di ruang makan orang, tidak dimaksudkan untuk mengawasi transaksi pikiran seperti di Twitter, WhatsApp, atau Facebook," ujar Rocky Gerung. #TempoNasional https://t.co/vLECnrdVI9
— TEMPO.CO (@tempodotco) October 15, 2020
Rugikan Bangsa dan Negara
Kita telah memilih jalan demokrasi dalam berbangsa dan negara, tetapi pengamalan demokrasi di masa Orde Lama dan Orde Baru mengalami jalan terjal, penuh hambatan dan rintangan dengan diamalkannya Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Tentang Pemberantasan Kegiatan Sunversi.
Pada awal Orde Reformasi, Presiden BJ Habibie mencabut UU Subversi tersebut karena dianggap memasung demokrasi, tetapi pada pemerintahan Presiden Susila Bambang Yudhoyono dibuat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE).
Kedua UU itu beda namanya, tetapi intinya sama memasung kebebasan dan demokrasi.
Jadi, kalau para akademisi lebih memilih diam, begitu pula media mainstream memilih jalan yang aman, itulah tragedi demokrasi kita, dan pasti bangsa dan negara kita, kembali berada dipersimpangan jalan.
Sejatinya dalam negara demokrasi, rakyat diberi peran besar dan partisipasi yang mumpuni sesuai asas demokrasi “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.”

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
