Sebagai sosiolog yang pernah belajar hukum, saya mendukung penegakan hukum secara adil kepada semua pelanggar protokol kesehatan.
Landasan yang digunakan dalam penegakan hukum bagi mereka yang diduga melanggar protokol kesehatan ialah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam pasal 59 UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan ditetapkan bahwa:
1. Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
2. Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
3. Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
1) peliburan sekolah dan tempat kerja,
2) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
3) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta sudah dicabut. Akan tetapi, masih dalam masa transisi, karena penyebaran covid-19 masih terjadi di masyarakat, maka digunakan istilah PSBB Transisi.
Pemprov DKI Jakarta kembali memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi menuju masyarakat sehat, aman, dan produktif selama 14 hari, mulai 9 November sampai 22 November 2020.#JagaJakarta #JakartaTanggapCorona #HadapiBersama #PSBBJakarta #PSBBTransisi pic.twitter.com/zrcUZtFMWu
— Pemprov DKI Jakarta (@DKIJakarta) November 8, 2020
Habib Rizieq dikabarkan bakal ke Cianjur untuk bersilaturahmi dengan para ulama dan menggelar tabligh akbar. Namun Pemkab Cianjur tidak akan mengeluarkan izin. #HabibRizieq #Cianjur https://t.co/LCtWLWllE6
— detikcom (@detikcom) November 18, 2020
Penegakan Protokol Kesehatan
Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, tidak diatur masalah kerumunan massa.
Larangan kerumunan massa untuk mencegah penyebaran covid-19, ditemukan dalam Maklumat dengan Nomor Mak/2/lll/2020 itu berisi tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) dikeluarkan di Jakarta pada Kamis, 19 Maret 2020.
Berikut isi maklumat Kapolri dalam upaya mengawal kebijakan pemerintah untuk pencegahan penularan Covid-19:
1). Bahwa mempertimbangkan situasi nasional terkait dengan cepatnya penyebaran Covid-19, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dalam rangka penanganan secara baik, cepat, dan tepat agar peyebaranya tidak meluas dan berkembang menjadi gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.
2). Bahwa untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, Polri senantiasa mengacu asas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto) dengan ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan maklumat:
a. Tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik ditempat umum maupun di lingkungan sendiri, yaitu:
Pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya yang sejenis.
b. Tetap tenang dan tidak panik serta lebih meningkatkan kewaspadaan di lingkungan masing-masing dengan selalu mengikuti informasi dan imbauan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah
c. Apabila dalam keadaan mendesak dan tidak dapat dihindari kegiatan yang melibatkan banyak orang dilaksanakan dengan tetap menjaga jarak dan wajib mengikuti prosedur pemerintah terkait pencegahan penyebaran Covid-19.
Pertanyaannya, apakah Maklumat Kapolri dapat menjadi landasan hukum untuk menghukum mereka yang melakukan kerumunan massa?
Polisi Periksa Panitia Pernikahan Putri Rizieq Hari Ini https://t.co/87R7rbUpV9
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) November 18, 2020
Dokter Tirta: Kerumunan Habib Rizieq Ditegur, tapi Gibran Tidak https://t.co/DgpXflsMrJ #nasional
— VIVAcoid (@VIVAcoid) November 17, 2020
Keadilan Bagi Semua
Keadilan bagi semua merupakan amanat sila kedua dan sila kelima dari Pancasila.
Keadilan yang dimaksudkan termasuk dalam bidang hukum.
Oleh karena itu, undangan Polda Metro Jaya kepada Anies, Gubernur DKI Jakarta untuk klarifikasi sehubungan kerumunan massa di kediaman Imam Besar HRS, sebaiknya diundang juga Gubernur Banten dalam kasus kerumunan massa sehubungan kedatangan HRS di bandara Soekarno Hatta.
Selain itu, perlu diundang Gubernur Jawa Barat untuk klarifikasi dalam kasus kerumunan massa di Gadog, Megamendung, Jawa Barat. Disamping itu, Gubernur Jawa Tengah dalam kasus kerumunan massa di Solo, saat mengantar calon walikota di Solo.
Juga, penting diundang Habib Lutfi, Anggota Wantimpres saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, tidak memakai masker, dan tidak jaga jarak di tengah kerumunan massa yang besar, dan banyak kasus yang harus ditangani secara benar dan adil, agar tidak menimbulkan kesan terjadi tebang pilih dan memihak dalam penegakan hukum.
Singkat kata, tegakkan hukum secara adil walaupun langit akan runtuh.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
