Tiga pakar Hukum Tata Negara yaitu Prof Mahfud MD, Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Dr. Refly Harun mengatakan bahwa kasus pelanggaran protokol kesehatan tidak bisa dipidana.
Prof. Mahfud MD, Menko Polhukam RI mengatakan, tak ada sanksi pidana bagi yang melanggar protokol kesehatan ataupun tidak ikut dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Jika merujuk Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020, aturan tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 itu hanya mengatur pemberian sanksi.
“Kalau ada yang seperti tidak melakukan itu, apakah orang ini sengaja atau tidak itu kemudian kita beritahu secara persuasif. Lalu agak naik dari situ, tindakan administratif seperti yang banyak dilakukan di banyak tempat. Jakarta misalnya, denda-denda yang dijatuhkan pada orang yang melanggar itu cukup besar,” kata Mahfud dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (7/8/2020)
BERITA SALAH NARASI. Sy setuju dgn JK dlm konteks spt trjadi kekosongan pemimpin Islam yg brperan melakukan nahi munkar. Spt JK sy tak prnah mengatakan kekosongan pemimpin formal di Indonesia melainkan melemahnya peran 'nahi munkar' ormas dan parpol Islam https://t.co/ftzWwSlbax
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) December 13, 2020
Semoga prof @mohmahfudmd berkenan beritahu Sok Jae bhw walau main dikandang sendiri dan dibantu wasit, hasilnya maksimum hanya seri.
Itu saja— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) December 13, 2020
Habib Rizieq Resmi Ditahan 20 Hari, Musni Umar: Semoga Semuanya Bersabarhttps://t.co/YarygrSfUN
— GELORA NEWS (@geloraco) December 13, 2020
Tidak Bisa Dipidana
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan, masyarakat yang melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tentang virus corona atau Covid-19 tidak bisa dipidana (LIPUTAN6, 12/4/2020).
Menurut dia, sanksi pidana hanya bisa dijatuhkan oleh Undang-Undang (UU). Sementara Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) maupun Peraturan Gubernur (Pergub) tidak bisa menjatuhkan sanksi pidana.
“Paling tinggi denda, itu mungkin dapat dilakukan daerah tapi dalam bentuk Perda, bukan Pergub. Sekarang kita dengar Pemda DKI dapat izin untuk PSBB itu akan mengeluarkan Pergub,” kata Yusril dalam diskusi virtual bertema ‘PSBB, Jurus Tanggung Istana Hadapi Corona?’, Minggu (12/4/2020).
Mantan Menteri Hukum era Gus Dur dan Megawati itu menjelaskan, Indonesia memiliki tiga UU yang dapat digunakan dalam konteks menghadapi pandemi virus corona Covid-19. Tiga UU tersebut yakni UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit, dan UU Kekarantinaan Kesehatan.
“Kalau kita mengacu pada UU tentang wabah penyakit, ada sanksi pidananya. Tapi yang diterapkan oleh pemerintah bukan itu sekarang. Yang diterapkan itu UU tentang Kekarantinaan Kesehatan itu yang dijadikan sebagai acuan diterbitkannya PP mengenai PSBB. Jadi tidak mengacu pada UU Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit,” ujar Yusril.
Aparat penegak hukum seperti polisi, lanjut Yusril, baru bisa masuk bila pemerintah menjalankan karantina wilayah sebagaimana yang ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
“Kalau kita baca UU Kekarantinaan Kesehatan, sanksi-sanksi pidana itu sama sekali tidak ada dalam PSBB. Polisi itu baru bisa dilibatkan apabila pemerintah memberlakukan karantina wilayah. Lalu di situ ada kewenangan polisi untuk bertindak,” ungkapnya
Bismillah, saya kecewa atas Penangkapan Habib Rizieq. Negeri ini landasannya hukum yang adil. Tuduhan hasutan dengan Pasal 160 KUHP atau Pasal 93 UU Karantina Kesehatan menurut beberapa ahli hukum tidak kuat disangkakan pada Habib Rizieq.
— Mardani Ali Sera (@MardaniAliSera) December 13, 2020
PWNU Jatim menyesalkan banyak pelanggar prokes yang tidak diproses oleh kepolisian. Bahkan, beberapa acara pejabat dinilai banyak melanggar prokes. https://t.co/pkbJsUzTeO
— detikcom (@detikcom) December 12, 2020
Tidak Bisa Jerat HRS
Pernyataan Refly Harun yang dimuat di Media Online Oposisi Cerdas (12/12/2020) mengulas pasal 160 KUHP bahwa pasal tersebut bisa digunakan untuk menahan HRS dibandingkan hanya menggunakan pasal karantina kesehatan, yang tidak bisa digunakan sebagai pasal penahanan.
Refly menilai, yang dilakukan HRS memanglah sebuah kesalahan, tetapi bukan sebuah tindak kejahatan dengan pemberatan. Namun, karena penggunaan pasal 93 kurang gagah untuk menangkap HRS, akhirnya digunakan pasal 160. Menurutnya, pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk menjerat HRS. Ia mempertanyakan di mana unsur menghasut yang disangkakan dalam pasal tersebut.
Pasal 160 KUHP juga berorientasi pada sebab dan akibat. Dalam hal tersebut, Refly tidak melihat akibat yang disangkakan. Dalam pemeriksaan Covid-19 kepada warga Petamburan, Refly menerima informasi, ada lima orang warga yang terjangkit. Namun, kelimanya tidak hadir dalam acara yang digelar HRS.
Secara pos facto, Refly menyebutkan, tidak ada yang perlu dirisaukan dari kerumunan tersebut. Hanya saja, memang perlu diberikan teguran yang keras jika perlu, denda administrasi yang lebih besar. Pihak HRS sudah membayar denda Rp50 juta kepada DKI Jakarta.
Kalau 3 pakar mengatakan pelanggar tidak bisa dipidana mengapa HRS dipidana?

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
