PDIP, Partai Gerinda, PAN dan PPP telah menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak setuju adanya revisi UU Pemilu.
Pertanyaan pertama, apakah keempat partai politik tersebut tidak setuju adanya revisi UU Pemilu merupakan maunya mereka atau maunya pemerintah yang menghendaki tidak ada Pilkada 2022 dan 2023?
Saya menduga keempat partai tersebut yang tidak setuju adanya revisi UU Pemilu, yang berarti tidak ada pemilihan kepala daerah di 272 daerah tahun 2022 dan 2023, mengikuti maunya pemerintah yang tidak menyetujui adanya revisi UU Pemilu 2019 yang telah menetapkan bahwa Pilkada akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilu Pilpres, dan pemilu Legislatif tahun 2024.
Sejumlah fraksi di DPR mengubah pendiriannya perihal Revisi UU Pemilu dan Pilkada. Bagaimana sikap mereka kini? #TempoGrafis https://t.co/bxiJ3u4IXj pic.twitter.com/jID7EUdDvk
— TEMPO.CO (@tempodotco) February 1, 2021
Pilkada 2020 tetap dilaksanakn agar tak ada KaDa yg Plt. Harusnya Pilkada 2022&2023 jg tak diundur unt dibarengkn dg pilpres&pileg 2024, sebab kalau diundur akan ada ratusan KaDa yg Plt.Itu rawan distabilitas politik&keamanan unt sukses Pilpres&Pileg 2024. https://t.co/S4vzB5kTVi
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) February 1, 2021
Kepentingan Politik
Pertanyaan kedua, apa manfaat pemerintahan Joko Widodo tidak setuju adanya revisi UU Pemilu?
Saya menduga pemerintah tidak setuju adanya Pilkada tahun 2022 dan 2023, memiliki alasan ekonomi dan politik.
Pertama, alasan ekonomi. Pemerintah menunda Pilkada menjadi 2024 karena alasan ekonomi. Sampai saat ini ekonomi Indonesia masih dilanda krisis. Dampaknya dana pemerintah sangat terbatas. Pada hal Pilkada menghabiskan anggaran yang sangat besar. Oleh karena itu, Pilkada penting diundur pelaksanaannya pada 2024.
Kedua, alasan politik. Jika tidak ada Pilkada 2022 dan 2023, maka pemerintah akan melantik 272 kepala daerah sebagai Pelaksana Tugas (PLT). Ini sangat menguntungkan penguasa dalam mewujudkan suksesi kepemimpinan 2024 yang diinginkan karena PLT Kepala Daerah akan menjadi instrumen dan ujung tombak dalam menyukseskan suksesi kepemimpinan yang diinginkan penguasa.
Pertanyaan ketiga, apa keuntungan partai-partai politik yang tidak mendukung revisi UU Pemilu 2019.
Pertama, PDIP sebagai partai penguasa, patut diduga sangat diuntungkan jika tidak ada Pilkada 2022 dan 2023. Karena mereka yang dicalonkan menjadi PLT tidak mungkin menjadi kenyataan jika tidak di dukung partai penguasa.
Kedua, partai Gerinda, sesuai hasil Munasnya beberapa waktu lalu telah menetapkan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden 2024. Dalam rangka itu, Gerindra tidak mendukung Pilkada 2022 dan 2023, merupakan strategi menghadapi Pemilu 2024 untuk menyukseskan pencalonan Prabowo menjadi Calon Presiden 2024.
Ketiga, PAN dan PPP mendukung tidak ada revisi UU Pemilu karena khawatir Parliamentary Threshold dinaikkan sesuai keinginan Partai Nasdem. Selain itu, kedua partai itu tidak berani bersikap diluar keinginan penguasa.
Anies Tolak Komentari Pilkada 2024: Urusin Covid Dulu https://t.co/0UQNMnN3xP
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) February 3, 2021
Tanpa Pilkada 2022, Anies tidak kehilangan panggung dan sepi. Justeru panggung Anies lebih luas. Anies punya waktu utk keliling seluruh Indonesia utk silaturrahim dgn para tokoh di daerah dan ceramah di berbagai kampus.https://t.co/rDPTpYKVBv
— Musni Umar (@musniumar) January 28, 2021
Partai Pendukung Pilkada
Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, merupakan partai politik pendukung revisi UU Pemilu yang menginginkan agar Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan pada 2022.
Alasan keempat partai tersebut mendukung revisi UU pasti mengandung kepentingan politik dan menyelamatkan demokrasi.
Adapun kepentingan politik revisi UU Pemilu. Pertama, untuk menyelamatkan Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, dalam Pemilu 2024. Saya menduga banyak kader mereka yang habis masa baktinya tahun 2022, 2023. Jika tidak ada Pilkada, maka mereka akan kehilangan kekuatan dalam Pemilu 2024.
Kedua, untuk menyelamatkan demokrasi. Kalau tidak ada Pilkada 2022, 2023; maka dapat dikatakan demokrasi telah dilumpuhkan. Demokrasi hanya tinggal dalam konstitusi dan undang-undang, tetapi sudah dipasung, tidak dijalankan karena penguasa di daerah dilantik tanpa dipilih melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Pertanyaan terakhir, apakah Pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan untuk menzalimi Anies Baswedan, Gubernur DKI yang akan habis masa baktinya di DKI tahun 2022? Jawaban saya Wallahu a’lam bisshawab (Dan Allah lebih mengetahui kebenaran).
Baca Juga
Rambu2 berupa UU dan PP tlh dibuat agar PNS netral dlm politik dan Pemilu. Faktanya PNS ttp tdk bisa netral. Penguasa dipusat dan daerah mmaksa mrk utk tdk netral. Akibatnya Pemilu dan Pilkada sulit berlangsung jurdil. Apa solusinya? Baca tulisan sy hr ini https://t.co/Bi5EaJCUAS
— Musni Umar (@musniumar) July 9, 2019

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
