Sangat ramai perbincangan di media sosial tentang radikalisme setelah Prof Din Syamsuddin dilaporkan oleh GAR ITB ke KASN sebagai radikal.
Sejak pemberitaan dimuat di media sosial, saya sudah protes dan memastikan bahwa Prof Din.tidak radikal. Hanya saya katakan kalau masalah korupsi, ketidak-adilan dan ketidak-benaran, Prof Din sangat tegas dan vokal.
Sekarang ini amat banyak yang mendukung Prof Din. Seluruh elemen dari berbagai kelompok masyarakat dan partai politik yang lintas agama, lintas suku, organisasi massa, perguruan tinggi memberi dukungan kepada Prof. Din Syamsuddin.
Korupsi Bansos Lebih Nyata, Kok Malah Dialihkan Tuduhan Radikal Din Syamsuddin?https://t.co/vGgD3368xU
— GELORA NEWS (@geloraco) February 14, 2021
JK: Din Syamsuddin Tidak Mungkin Radikal: "Dia adalah pelopor dialog antar agama dan itu tingkatannya internasional. Saya sering bilang ke dia "Pak Din anda ini lebih hebat daripada menlu, selalu keliling dunia hanya berdiskusi dalam hal perdamaian dan… https://t.co/kW7UGl0Hal
— Merdeka.com (@merdekadotcom) February 15, 2021
Menko Polhukam Bersuara
Prof Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI telah menegaskan bahwa surat GAR ITB ke KASN dan berbagai lembaga pemerintah, tidak akan ditindaklanjuti.
Menko Polhukam juga mengemukakan bahwa pemerintah tidak pernah menganggap Prof Din Syamsuddin radikal.
Lebih lanjut Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melakukan proses hukum terhadap mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Mahfud mengatakan hal itu menanggapi tudingan radikal terhadap Din Syamsuddin oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Pemerintah tetap menganggap Pak Din Syamsuddin itu adalah tokoh yang kritis, yang kritik-kritiknya harus kita dengar. Coba kapan pemerintah pernah menyalahkan pernyataan Pak Din Syamsuddin, apalagi sampai memprosesnya secara hukum? Tidak pernah. Dan Insya Allah tidak akan pernah, karena kami anggap beliau itu tokoh.”
MUI melihat tudingan bahwa Din Syamsuddin terlibat radikalisme adalah bagian dari gerakan menyebarkan Islamofobia. #TempoNasional https://t.co/iVj5SeJwVH
— TEMPO.CO (@tempodotco) February 13, 2021
Islamophobia marak di Indonesia. Sejatinya dilarang karena salah satu kewajiban Muslim adalah menjaga Agama (Hifzuddin). Sila baca berikut ini https://t.co/lsUNXiFED0
— Musni Umar (@musniumar) February 7, 2021
Label Radikalisme
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mereka yang mengeritik pemerintah diberi label radikal, ekstrim, teroris dan sebagainya.
Mereka yang memberi label kepada pengeritik penguasa sebagai radikal, ekstrimis bahkan teroris adalah para buzzer, kelompok-kelompok pendukung penguasa dan ormas partisan.
Sesuai pengakuan, mereka dibayar untuk menyerang dan menstigma para pengeritik penguasa dengan tulisan kasar dan brutal.
Ketika mereka dilaporkan kepada aparat, mereka tidak pernah diproses sebagaimana yang dialami para pengeritik penguasa yang langsung diproses jika ada laporan terhadap mereka.
Tidak hanya pengeritik pemerintah yang diserang, tetapi juga yang mendukung Gubernur Anies Baswedan. Pada hal yang mendukung Anies tidak pernah menjelekkan siapapun.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin belakangan menampakkan sikap kritisnya kepada pemerintahan Presiden Jokowi https://t.co/Lcpprxw5Vl
— Kompas.com (@kompascom) February 15, 2021
Stop Jualan Radikalisme
Publik menganggap bahwa isu radikalisme telah menjadi komoditi yang diperjualbelikan.
Jika ingin menghentikan para pengeritik pemerintah, mereka dilabeli dengan sebutan radikal, ekstrim dan bahkan teroris.
Sehubungan itu, saya mendukung tagar stop Jualan Radikalisme yang viral di media sosial.
Ada tiga alasan saya mendukung tagar stop jualan radikalisme.
Pertama, merusak nama tokoh yang dilabeli radikal seperti Prof Din Syamsuddin.
Kedua, memecah belah bangsa dan negara.
Ketiga, mereka menuduh saudara.sebangsa, setanah air, apalagi seagama, tak obahnya memakan bangkai saudaranya karena mendapatkan uang dengan cara memfitnah, menista, menjelekkan dengan membuat framing saudaranya sebagai radikal, ekstrim dan tidak jarang disebut teroris.
Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
