Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada 29 Desember 2003 di era pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri.
Pembentukan KPK sebagai super body dimaksudkan untuk menangani korupsi dilembaga penegak hukum dan parlemen yang dinilai tidak bisa dilakukan oleh lembaga penegak hukum.
Oleh karena itu, KPK diberikan kewenangan yang besar untuk melakukan penyadapan dan tidak mengeluarkan Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Sekali seseorang dijadikan sebagai tersangka, maka perkaranya harus lanjut dipersidangan.
Selain itu, karyawan KPK bukan Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil. Mereka digaji dengan upah sangat memadai agar tidak menerima suap dalam menyidik suatu perkara korupsi.
Dalam praktik pemberantasan korupsi banyak menyasar berbagai kekuatan di eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga KPK harus dijinakkan dengan melakukan merevisi UU KPK yang lama menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Perubahan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 ditentang Komisi Pemberantasan Korupsi ditolak secara luas oleh masyarakat Anti Korupsi dan akademisi karena dfitengarai untuk melemahkan KPK, tetapi bak anjing menggonggong kafilah berlalu. DPR dan Pemerintah terus melakukan pembahasan tentang perubahan UU KPK dengan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam membahas perubahan UU KPK.
Novel Baswedan dan para penyidik andal dikabarkan tidak lolos dalam tes menjadi aparat sipil negara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uji wawasan kebangsaan ini disebut-sebut mengganjal para penyidik yang telah membongkar berbagai kasus… https://t.co/3GyHeqcFyh #KoranTempo
— Koran Tempo (@korantempo) May 3, 2021
75 pegawai, termasuk penyidik KPK, diduga akan dipecat. Padahal mereka sedang menangani kasus korupsi kakap. #TempoNasional https://t.co/tSxLV3H7k5
— TEMPO.CO (@tempodotco) May 4, 2021
Pelemahan KPK Jadi Kenyataan
Sinyalemen para akademisi dan masyarakat anti korupsi bahwa perubahan UU KPK adalah untuk melemahkan KPK akhirnya menjadi kenyataan.
Para akademisi dan pengamat menyebut bukti KPK telah dilemahkan. Pertama, KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) terhadap koruptor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Pada hal sejak KPK dibentuk tahun 2002 haram mengeluarkan SP3. Akan tetapi dibawah UU KPK yang baru KPK mengeluarkan SP3.
Kedua, pencurian barang bukti berupa emas seberat 1,9 kilogram pleh pagawai KPK yang diungkap KPK secara lengkap (9/4/2021).
Ketiga, gagalnya penggeledahan kasus suap pajak di Kalimantan Selatan yang dilakukan pada hari yang sama. KPK melaporkan barang bukti sudah dibawa kabur dengan menggunakan truk. Upaya penggeledahan ini gagal karena diduga ada informasi yang dibocorkan sebelum KPK melakukan penggeledahan.
Keempat, kasus dugaan penyuapan terhadap penyidik KPK seberar Rp 1,5 milyar. Kasus ini luar biasa karena sejak KPK dibentuk 29 Desember 2003 tidak pernah ada berita penyidik KPK menerima suap.
Kelima, kasus suap terhadap anggota KPU Wahyu Setiawan yang menyeret Harun Masiku kader partai penguasa sampai saat ini tidak diketahui rimbanya. Selain itu, kasus korupsi bantuan sosial dalam penanganan covid-19 yang menyeret Juriadi P. Batubara, Menteri Sosial yang juga Wakil Bendahara Umum PDIP yang diduga menyeret Herman Hery dan Ihsan Yunus, anggota DPR RI hilang dari berita acara penyelidikan dan penyidikan.
Keenam, pegawai KPK dijadikan ASN (Aparatur Sipil Negara). Dalam rangka itu, dilakukan asesmen wawasan kebangsaan. Diberitakan sebanyak 75 penyidik tidak lulus dalam tes wawasan kebangsaan. Berbagai pihak menuding bahwa tes wawasan kebangsaan merupakan modus untuk menggeser para penyidik handal KPK.
"Aku ditanya bersedia enggak lepas jilbab. Pas jawab nggak bersedia dibilang berarti lebih mementingkan pribadi daripada bangsa negara," ucap pegawai KPK itu. https://t.co/yxX4UYu5Nz
— detikcom (@detikcom) May 7, 2021
Ketua KPK Firli Bahuri Didesak Ikut Tes Kebangsaan https://t.co/OxKQLKGu0i #TempoFoto
— TEMPO.CO (@tempodotco) May 7, 2021
Hilang Dukungan Publik
Sebelum UU KPK diubah tahun 2019, para akademisi dan masyarakat anti kotupsi selalu memberi dukungan moral kepada KPK kalau ada masalah dengan pihak luar.
Sebagai contoh, kasus cicak versus buaya di mana KPK berhadapan dengan lembaga penegakan hukum (Kepolisian dan Kejaksaan), publik memberikan dukungan luar biasa kepada KPK.
Dengan kondisi KPK seperti sekarang, KPK benar-benar sudah lemah. Kalau ada masalah dalam pemberantasan korupsi, KPK hampir dipastikan sulit mendapat dukungan internal karena semua sudah menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) yang dibentuk bersifat monoloyalitas. Pada hal yang dilawan dalam pemberantasan korupsi adalah oknum eksekutif, oknum legislatif dan oknum yudikatif.
Para akademisi meminta supaya KPK dibubarkan. Bagaimana pandangan saya sebagai sosiolog? Klik Youtube tonton dan Subscribehttps://t.co/SHCwNevTIB
— Musni Umar (@musniumar) May 8, 2021
Demikian pula, KPK pasti sulit mendapat dukungan eksternal, seperti dari akademisi dan masyarakat anti korupsi seperti di masa dahulu, karena KPK telah kehilangan trust (kepercayaan) dari publik. Padahal modal yang amat diperlukan KPK dalam memberantas korupsi, bukan dukungan dari eksekutif, legislatif dan yudikatif, tetapi rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Eksekutif, legislatif dan yudikatif sejatinya adalah obyek pemberantasan korupsi. Teman sejati dalam pemberantasan korupsi adalah rakyat yang amat dirugikan dari praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum eksekutif termasuk oknum aparat penegak hukum, oknum legislatif dan oknum yudikatif. Kerena hal ini banyak yang ingin KPK Bubar.
Walaupun KPK sudah dilemahkan secara yuridis, politis dan sosiologis, tetapi saya belum setuju KPK Bubar. Pelemahan KPK merupakan produk politik dari hasil pemilihan umum. Jika terjadi perubahan politik, maka KPK bisa diubah kembali menjadi kuat dan bergigi dalam pemberantasan korupsi.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
