Salah satu bagian dari Taujihat Kebangsaan (arahan, bimbingan, nasehat) Kebangsaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2021 kepada pemerintah adalah “Diharapkan tidak alergi/apriori terhadap kritik dan pemikiran yang berbeda dari masyarakat. Pendekatan represif dengan mempergunakan instrumen hukum untuk membungkam para pengkritik menjadi embrio semakin mengkristalnya pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah.”
Alergi kritik dapat dimaknai sebagai reaksi tidak normal atau reaksi yang tidak menyenangkan terhadap kritik. Masalah ini sangat serius dirasakan oleh masyarakat.
Oleh karena kritik bisa mengancam keselamatan si pengeritik, maka muncul tren baru untuk mengeritik yang dilakukan dengan membuat “mural.” Mural dengan tulisan 404: Not Found menjadi tren setelah ada mural di Tangerang dan desain kaos yang diunggah warga Tuban, Jawa Timur dengan gambar mirip seseorang.
Sebenarnya kritikan yang disampaikan kepada pemerintah, sekarang ini lebih banyak dilakukan serangan balik oleh buzzerp yang diduga keras dibayar oleh mereka yang sedang berkuasa untuk menyerang balik kepada pengeritik.
Bukan hanya itu, tetapi para buzzerp diyakini oleh publik bahwa mereka kebal hukum dan mendorong petugas untuk melakukan pendekatan represif dengan mempergunakan instrumen hukum untuk membungkam para pengkritik pemerintah.
Mural tersebut merupakan wujud ekspresi dari sejumlah seniman serta sebagai media penyampaian kritik sosial kepada pemerintah di tengah pandemi. #mural #MuralkanIndonesia pic.twitter.com/u523KVsx7V
— Republika.co.id (@republikaonline) August 25, 2021
Mural Mirip Jokowi di Bandung Dihapus Petugas https://t.co/LYG0wGWwjX #TempoFoto
— TEMPO.CO (@tempodotco) August 26, 2021
Proporsional Mengeritik
Pada bagian lain dari Taujihat Kebangsaan MUI yang ditujukan kepada masyarakat diharapkan dapat lebih proporsional dalam menanggapi kebijakan dan kinerja pemerintah.
Menurut taujihad kebangsaan MUI, yang positif diapresiasi dan didukung, sedangkan yang dirasa menyimpang disampaikan kritik dengan menggunakan saluran yang ada, memperhatikan aspek kepantasan, dan tetap mengedepankan persatuan bangsa.
Taujihad MUI kepada masyarakat sangat penting tata cara menyampaikan. Sebaik apapun usulan dan kritikan yang mau disampaikan kepada pemerintah, kalau cara menyampaikan tidak pas, maka usulan dan kritikan tidak akan diterima, dan bahkan bisa menjadi bumerang, sebab bisa dikategorikan sebagai mencemarkan nama baik.
Dalam konteks taujihad MUI, maka mayoritas masyarakat lebih memilih diam. Mereka yang memilih diam, tidak saja masyarakat awam, tetapi juga para cendekiawan di berbagai kampus. Apalagi, mereka yang masuk kategori ASN (Aparatur Sipil Negara) di berbagai perguruan tinggi, banyak memilih diam daripada bersuara kritis, yang pasti membahayakan periuk nasi.
MUI mengeluarkan taujihat kebangsaan 2021. Salah satu poinnya meminta pemerintah tidak alergi terhadap kritik yang dilayangkan masyarakat. https://t.co/t7U8EEVLJF
— detikcom (@detikcom) August 27, 2021
#sobatlppom, tahukah anda, bahwa wawasan kebangsaan perlu dilandaskan pada keimanan dan ketakwaan, https://t.co/7CGQXmCA1J
.#dirgahayuindonesia #kebangsaan #keimanan #ketakwaan #tausiyah #lph #lppommui #kamuharustau #update #news #fyi #halalmui #sobathalalmui pic.twitter.com/6sk1Rpz4ZI— LPPOM MUI (@lppom_mui) August 15, 2021
Kritik Diperlukan
Kritik itu sangat penting karena tidak ada pemimpin yang sempurna. Akan tetapi, pemimpin pada umumnya tidak mau dikritik. Inilah masalah yang dihadapi dalam kehidupan, mulai dari rumah tangga, di masyarakat, dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut saya, untuk mewujudkan masyarakat yang dialogis, harus dari pemerintah bukan dari masyarakat. Oleh sebabi itu, ajakan MUI dalam taujihad yang “mengajak pegiat dunia maya (netizen) untuk ikut serta berperan aktif dalam upaya menciptakan suasana dialogis yang konstruktif di tengah masyarakat, terciptanya forum-forum perjumpaan ide yang saling menghargai pendapat dalam menanggulangi COVID-19 dalam mewujudkan kesehatan bangsa untuk memulihkan ekonomi nasional melalui semangat persatuan dalam konteks kebangsaan, sulit dipraktikkan jika tidak dimulai dari pemerintah.
Oleh karena itu, saya apresiasi yang dilakukan Menko Polhukam Prof Mahfud MD yang mengundang dialog Prof Emil Salim, Faisal Basri dan para tokoh untuk membicarakan berbagai persoalan dalam berbangsa dan bernegara, yang disampaikan secara terbuka dan bebas.
Ekonom senior dan Guru Besar UI Emil Salim mengkritisi sikap pemerintah yang merencanakan anggaran besar untuk persenjataan dan pemindahan ibu kota. https://t.co/OWtZRMFlBZ
— detikcom (@detikcom) August 28, 2021
Emil Salim Kritik Pemindahan Ibu Kota RI di Depan Mahfud MD https://t.co/1kOLBepJ4d
— CNBC Indonesia (@cnbcindonesia) August 28, 2021

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
