Sebagai sosiolog yang menulis buku “Korupsi di Era Reformasi” dan menyunting buku “Korupsi Musuh Bersama,” saya merasa sangat prihatin atas pemecatan 56 pegawai KPK yang dikenal publik sebagai penyidik handal yang banyak meringkus koruptor pejabat negara dan para penjahat kerah putih.
Saya tidak pernah bertemu dengan mereka yang akan diberhentikan oleh pimpinan KPK pada 30 September 2021, tetapi mengikuti sepak terjang mereka dalam memberantas korupsi.
Sebagai contoh Novel Baswedan, nyaris buta kedua matanya akibat ulah koruptor yang sangat marah akibat tindakan penyelidikan, penyidikan dan akhirnya membawa ke meja hijau dan masuk penjara.
Pengorbanan yang luar biasa Novel Baswedan dan kawan-kawan sama sekali tidak dipertimbangkan. Hanya karena mereka tidak lulus TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang diduga keras direkayasa. Tujuannya untuk dijadikan alasan untuk memecat mereka dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Novel Baswedan: Kami berupaya memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh, tetapi ternyata kami yang diberantas. #TempoNasional https://t.co/hvuXElBmsS
— TEMPO.CO (@tempodotco) September 15, 2021
Resmi! KPK Pecat Novel Baswedan dan Penyidik-Penyidik Kasus Korupsi Besar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi memecat 51 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 pic.twitter.com/zBgTkrtOAY
— Republika.co.id (@republikaonline) September 15, 2021
Kezaliman Nyata Pemecatan 56 Pegawai KPK
Tindakan memecat mereka dengan alasan tidak lulus TWK, merupakan perbuatan zalim.
Zalim atau aniaya adalah perbuatan-perbuatan yang melampaui kemanusiaan dan melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Zalim terhadap sesama manusia, artinya menyakiti sesama manusia.
Saya pernah berdiskusi dengan A. Anshari Ritonga, mantan Dirjen Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan RI tentang masalah pengangkatan Pegawai KPK menjadi ASN/PNS.
Dia mengatakan harus hati-hati mengangkat ASN karena akan membebani keuangan negara. Sekali mengangkat seseorang menjadi ASN/PNS, negara akan menanggung seseorang sampai meninggal dunia.
Oleh karena itu, dia cenderung status pegawai KPK seperti selama ini. Jika sudah waktunya pensiun, mereka berhenti menjadi pegawai KPK, negara tidak dibebani tanggungjawab untuk membayar uang pensiun.
Dalam mengomentari pandangan A. Anshari Ritonga, saya mengusulkan dan sudah pernah saya kemukakan ke publik, mereka yang tidak lulus TWK tetap menjadi pegawai KPK sampai mereka pensiun.
Namun keputusan politik sudah dijatuhkan dan mereka harus di PHK. Pertanyaannya, apakah mereka akan dibayarkan uang pesangon atas pemutusan hubungan kerja (PHK)? Seharusnya dibayarkan dalam jumlah yang besar sebab mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, yang mengakibatkan mereka dipecat.
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Giri Suprapdiono memberi istilah tentang rencana pemecatan 57 pegawai KPK pada 30 September 2021 dengan G30STWK. #TempoNasional https://t.co/gw8yEm2FhT
— TEMPO.CO (@tempodotco) September 15, 2021
Isu Politik dari Pemecatan 56 Pegawai KPK
Pemberhentian 56 pegawai KPK secara zalim, akan menjadi isu politik yang akan terus bergelinding dalam kurun waktu yang lama.
Kasus ini dipastikan akan dibawa ke ranah hukum dan pasti akan terus mendapat opini yang menghadirkan simpati publik. Saya menduga gemanya tidak hanya ditingkat nasional, tetapi juga internasional.
Saya khawatir akan ikut memanaskan suhu politik. Jika terjadi rallying point (titik temu) dengan kepentingan lain seperti isu pembunuhan 6 laskar FPI dan kasus HRS dan berbagai kasus lainnya maka semakin tidak kondusif keadaan kita berbangsa dan bernegara.
Novel Baswedan sudah mengatakan “Setidaknya sejarah akan mencatat bahwa kami telah berupaya untuk berbuat yang baik kalaupun ternyata negara memilih atau pimpinan KPK kemudian dibiarkan untuk tidak dikoreksi atau diperbaiki perilakunya yang melanggar hukum, setidak-tidaknya itu masalahnya terjadi bukan karena kami, kami telah berupaya memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh, ternyata justru malah kami yang diberantas.”
Novel menganggap pemberhentian 56 pegawai KPK tersebut merupakan hal yang luar biasa. Menurut Novel, upaya tersebut tentu dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum.
“Perbuatan melawan hukum, perbuatan manipulasi, perbuatan ilegal yang dilakukan dalam maksud untuk menyingkirkan pegawai KPK tertentu. Itu jelas ditemukan, bukti-buktinya jelas, rekomendasi nya telah disampaikan ke Bapak Presiden.”
Dipecat dari KPK, Novel Baswedan: Sejarah akan Mencatat Kami Berbuat Baik https://t.co/abkh2IFfkq #TempoNasional
— TEMPO.CO (@tempodotco) September 15, 2021
Dunia Terbalik, Buronan Divonis Bebas, Penyidik KPK yang Menangkap Bebas Tugas https://t.co/UbxFD6MDf6 #TempoNasional
— TEMPO.CO (@tempodotco) September 12, 2021
Siap Menjadi Saksi Ahli
Sehubungan adanya surat pemberitahuan bahwa 56 pegawai KPK akan diberhentikan 30 September 2021, maka penyelesaian secara baik dan beradab sesuai sila kedua dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sudah tertutup.
Satu-satunya jalan penyelesaian kasus pemecatan 56 pegawai KPK, di bawa ke ranah hukum yaitu di PTUN.
Sebagai pakar sosiologi, jika diperlukan, saya bersedia menjadi saksi ahli demi menolong mereka yang saya yakini mendapatkan perlakuan yang zalim.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
