Masih jauh pemilihan Presiden Indonesia (tahun 2024), tetapi perbincangan mengenai calon Presiden Indonesia pasca Jokowi sudah ramai dibahas di publik. Berbagai survei dilakukan untuk mengetahui aspirasi rakyat siapa yang mereka kehendaki untuk memimpin Indonesia pasca Presiden Jokowi.
Bahkan relawan Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) sudah melakukan deklarasi untuk mendukung Anies Baswedan menjadi calon Presiden 2024.
Mereka yang sedang berkuasa, sudah mulai dekat dan akrab calon Presiden yang diharapkan sebagai successor (penerus) pemerintahan Presiden Jokowi dari kalangan mereka.
Mengenai masalah tersebut sangat menarik pernyataan Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI (27 Oktober 2014 – 27 Juli 2016) yang menyatakan bahwa rakyat sangat arif dan adil dalam mempergilirkan kekuasaan di Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka tidak pernah ada Presiden yang successor (penerusnya) dari kalangan yang disiapkan oleh seorang Presiden yang sedang berkuasa. Indonesia pernah dipimpin Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, SBY dan sekarang Joko Widodo.
Menurut Ferry Mursyidan Baldan yang pernah lama menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar, semua Presiden yang pernah memimpin Indonesia tidak pernah penerus kepemimpinannya yang disetting oleh Presiden yang sedang berkuasa.
Ragam Taggapan Warga DKI Soal Deklarasi Anies Baswedan Capres 2024 https://t.co/CL7qLwXv9N #TempoMetro
— TEMPO.CO (@tempodotco) October 21, 2021
"Mari wujudkan rasa bangga sbg bangsa Indonesia dg menghadirkan tanah sbg ruang hidup yg menentramkan & memakmurkan" pic.twitter.com/809ZgOasl6
— Kementerian ATR/BPN (@atr_bpn) May 20, 2016
Paradigma Berpikir Masyarakat
Paradigma berpikir masyarakat Indonesia seperti sudah terbangun lama, kalau sudah diberi kesempatan memimpin Indonesia, setelah berakhir masa baktinya, diberikan kepada yang lain.
Dalam sejarah politik Indonesia, dua Presiden Indonesia yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, cukup lama memimpin Indonesia, akhirnya melalui kekuatan massa dilengserkan ditengah jalan.
Dampaknya kekuasaan yang begitu lama digenggam, tidak bisa diteruskan atau dilanjutkan oleh penerusnya (successor).
Begitu pula Presiden BJ Habibie yang memerintah tidak lama, juga Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tidak terkecuali Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden yang diberi amanah oleh rakyat bukan successor, tetapi lawan politik yaitu Presiden Joko Widodo yang dicalonkan oleh PDIP.
Dengan demikian, sejak Indonesia merdeka belum pernah Presiden berikutnya dari tokoh yang dekat dan akrab oleh Presiden yang sedang berkuasa.
Berdiri dan berkembangnya suatu negara tidak lepas dari peran para pemimpinnya, khususnya para presidennya. #ArsipHariIni menampilkan foto-foto pelantikan Presiden dari Sukarno hingga Joko Widodo.#HUTRI76 #DIRGAHAYU76VIRTUAL pic.twitter.com/nRT16Fmzh5
— Arsip Nasional RI (@ArsipNasionalRI) August 17, 2021
Kearifan Rakyat Dalam Berdemokrasi
Dalam demokrasi, sejatinya yang berkuasa adalah rakyat. Itu sebabnya sering dipopulerkan adagium bahwa kekuasaan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Akan tetapi, dalam realitas rakyat tidak lebih hanya sebagai alat. Pada saat pemilihan umum, rakyat dimobilisasi dalam kampanye sampai pada hari pemilihan umum, rakyat yang sudah memenuhi syarat dimobilisasi dengan segala macam cara termasuk melakukan politik uang dengan memberi uang kepada para pemilih supaya memilih calon Presiden-Wakil Presiden, memilih calon Kepala Daerah, calon anggota DPR RI, calon anggota DPD RI, calon anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Akan tetapi, setelah mereka terpilih menjadi pemimpin eksekutif dan anggota legislatif, mereka asyik sendiri – lupa rakyat yang memberi kekuasaan kepada mereka.
Oleh karena itu, Presiden yang memegang kekuasaan eksekutif, begitu pula Kepala Daerah, setelah selesai masa baktinya di era reformasi paling lama 2 periode atau 10 tahun, rakyat sangat arif dan adil mempergilirkan kekuasaan kepada pihak lain.
Ada kriteria-kriteria yang perlu dimiliki calon untuk pemilu serentak yang kompleks. https://t.co/YvT2yT9Z7A
— Republika.co.id (@republikaonline) October 20, 2021
Para kandidat diminta segera mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU dan Bawaslu. https://t.co/a8AGCWeQ6N
— Republika.co.id (@republikaonline) October 15, 2021
Pergiliran Kekuasaan
Kekuasan secara lahiriah dalam demokrasi, yang memberi kekuasaan kepada seseorang adalah rakyat melalui pemilihan umum.
Akan tetapi menurut Al-qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 26, sejatinya yang memberi kekuasaan kepada seseorang adalah Allah, sesuai firmanNya yang artinya: “Katakanlah, wahai Muhammad, Tuhan adalah pemilik kekuasaan. Dia memberi kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mencabut kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia muliakan siapa yang Dia kehendaki dan hinakan siapa yang Dia kehendaki. Di tangan Dialah segala kebajikan.
Firman tersebut menegaskan bahwa kekuasaan pada hakikatnya yang memberi adalah Allah. Melalui pemilihan umum rakyat memilih seorang pemimpin. Pada hakikatnya yang menggerakkan hati rakyat untuk memilih seorang pemimpin (Presiden, Kepala Daerah) adalah Allah.
Maka, walaupun secara lahiriah nampak bahwa yang memilih seorang pemimpin adalah rakyat, tetapi berdasarkan firman Allah tersebut dan hal itu diyakini dan diimani oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim, sejatinya yang memberi kekuasaan ialah Allah melalui tangan manusia yang menyoblos nama seorang calon Presiden atau Kepala Daerah.
Oleh karena itu, Allah pergilirkan kekuasaan kepada hambanya yang berjuang untuk menjadi Presiden atau Kepala Daerah melalui tangan rakyat yang memilih. Itu sebabnya siapapun yang mencalonkan atau dicalonkan menjadi Presiden atau Kepala Daerah, supaya selalu berdoa semoga Allah memberi kekuasaan melalui para hambanya yang menyoblos dalam pemilihan umum.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
