Rizal Ramli, Menteri Keuangan RI di era Presiden Abdurrahman Wahid, sangat keras kritikannya kepada Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI karena terus berutang dalam jumlah yang sudah sangat besar. Apalagi dengan bunga pinjaman yang tinggi.
Kritikan keras Rizal Ramli dibantah A. Anshari Ritonga, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pembina Pendidikan Ibnu Chaldun dan mantan Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan RI. Menurut dia, Sri Mulyani tidak salah yang salah DPR.
Hal tersebut ditegaskan saat menjadi Keynote Speaker dalam Seminar UIC Jakarta “Refleksi Akhir Tahun dalam bidang hukum, HAM, Ekonomi dan Sosial Antara Harapan dan Kenyataan” yang dilaksanakan Universitas Ibnu Chaldun bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun (30/12/2021)
Menurut dia, yang salah adalah DPR karena membuat defisit spending dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Defisit spending merupakan selisih antara anggaran pendapatan dan anggaran belanja yang nilainya negatif. Belanja lebih besar dari pendapatan yang diperoleh.
Dampak dari defisit spending, maka Sri Mulyani, Keuangan RI terpaksa harus mencari dana dengan cara berutang guna menutup kekurangan belanja negara yang telah ditetapkan dalam APBN. Itulah sebabnya utang pemerintah terus membesar jumlahnya di era Reformasi karena sistem defisit spending yang dijalankan.
Pakar perpajakan itu menegaskan, pada era Orde Baru, sistem yang dijalankan adalah Balance Budget. Balance Budget atau Anggaran berimbang adalah suatu keadaan dimana pengeluaran sama dengan penerimaan.
Dalam perkembangannya, diterapkan balance budget dinamis dengan memperhatikan tingkat inflasi (inflation rates), nilai tukar (exchange rates), harga BBM dan lain-lain.
Balance budget dinamis bahwa dalam penerimaan lebih mudah dari yang direncanakan semula, sehingga pemerintah menyesuaikan pengeluaran agar tetap terjaga keseimbangannya.
Publik memaknai keadaan kita sekarang seperti kata pepatah “besar pasak daripada tiang.” Artinya lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Belanja lebih besar daripada pendapatan. Ini sangat tidak sehat dan membahayakan kita semua.
Skala Prioritas Dalam Membangun
Sementara itu, Atifah Thaha, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Ibnu Chaldun mengemukakan harapan masyarakat hadirnya keadilan. Peraih Master dalam bidang ekonomi dari Australian National University (ANU) dan Ph.D dalam bidang ekonomi dari University of Wollongong, Australia mengemukakan bahwa realitas ekonomi yang dihadapi dengan tingkat kesenjangan yang besar serta kemiskinan 27 juta orang lebih, harus mendorong pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia untuk bersama mengatasi kesenjangan dan kemiskinan.
Menurut dia kalau merujuk Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Faktanya tenaga terampil yang dibantu oleh negara. Selain itu, kebutuhan dalam negeri di impor. Sejatinya, bangsa Indonesia didorong dan difasilitasi untuk berproduksi agar bangsa Indonesia bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa bergantung pada impor.
Impor menurut dia, “cost benefit” dan “social benefit” rendah. Oleh karena itu, impor harus diakhiri, karena untuk menjadi bangsa yang besar dan mandiri harus swasembada pangan, agar bisa memberi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pakar ekonomi ini menyarankan, utang sudah diambang batas, harus ada skala prioritas dalam membangun. Misalnya pemindahan ibukota seharusnya bukan skala prioritas.
Berikut foto-foto kegiatan

Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
