Luar biasa!!! Tidak pernah dalam sejarah Indonesia, para tokoh politik dan Warga Negara Indonesia (WNI) dari berbagai penjuru dunia ikut menggugat presidential threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Selama ini yang ramai menggugat presidential threshold (PT) ke Mahkamah Konstitusi para tokoh di dalam negeri seperti Dr. Rizal Ramli, Adi Massardi dan lain-lain. Belakangan ini ikut menggugat presidential threshold yaitu:
Gatot Nurmantyo, Ferry Joko Yuliantono, Fachrul Razi dan Bustami Zainudin (keduanya anggota DPD RI), Lieus Sungkharisma, Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama Putra (ketiga anggota DPD RI).
1. Senin 27 Des 2021, Tiga orang Anggota DPD RI yaitu Tamsil Linrung, Fahira Idris & Edwin Pratama Putra mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, terkait dg presidential threshold pencalonan presiden 20% yg tertuang di dlm UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
A THREAD pic.twitter.com/H5l3SsRoV5— Fahira Idris DPD RI (@fahiraidris) December 28, 2021
Dua Anggota DPD RI Daftarkan Gugatan "Presidential Threshold" ke MK https://t.co/CALJgR22bP
— tvOneNews (@tvOneNews) December 10, 2021
Partai Ummat Bakal Gugat Presidential Threshold ke MK
#Sindonews #BukanBeritaBiasa .https://t.co/yYVN38q3eY
— SINDOnews (@SINDOnews) January 3, 2022
Mengapa Ramai Gugat Presidential Threshold?
Kita apresiasi para tokoh di dalam negeri, WNI dari berbagai penjuru dunia menggugat presidential threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan seorang ASN yang bernama Ikhwan Mansyur Situmeang berani menggugat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) pasal 222 Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu), diduga keras telah terjadi penyelewengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang memasung demokrasi.
Gugatan Ikhwan Mansyur Situmeang, seorang ASN sebagai contoh, luar biasa karena sangat langka ada ASN/PNS berani menggugat sebuah Undang-Undang. Gugatannya telah diterima Mahkamah Konsitusi (MK) dengan nomor 2/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022. Ikhwan mendalilkan presidential threshold melanggar pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dia meminta MK untuk menghapus pasal tersebut.
“Menyatakan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” bunyi petitum dalam permohonan Ikhwan.
Gugatan presidential threshold 20 persen terus berdatangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana dikemukakan di atas, tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga datang dari WNI di berbagai penjuru dunia. Mereka satu suara meminta presidential threshold diubah dari 20 persen menjadi nol persen.
Permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan presidential threshold seperti dikemukakan di atas, datang dari WNI yang berada di berbagai negara di dunia, seperti:
Tata Kesantra, tinggal di New York, Amerika Serikat
Ida irmayani, tinggal di New York, Amerika Serikat
Sri Mulyanti Masri, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
Safur Baktiar, tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat
Padma Anwar, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
Chritsisco Komari, tinggal di California, Amerika Serikat
Krisna Yudha, tinggal di Washington, Amerika Serikat
Eni Garniasih Kusnadi, tinggal di San Jose, California, Amerika Serikat
Novi Karlinah, tinggal di Redwood City, California, Amerika Serikat
Nurul Islah, tinggal di Everett, Washington, Amerika Serikat
Faisal Aminy, tinggal di Bothell, Washington, Amerika Serikat
Mohammad Maudy Alvi, tinggal di Bonn, Jerman
Marnila Buckingham, tinggal di West Sussex, United Kingdom
Deddy Heyder Sungkar, tinggal di Amsterdam, Belanda
Rahmatiah, tinggal di Paris, Prancis
Mutia Saufni Fisher, tinggal di Swiss
Karina Ratna Kanya, tinggal di Singapura
Winda Oktaviana, tinggal di Linkuo, Taiwan
Tunjiah, tinggal di Kowloon, Hong Kong
Muji Hasanah, tinggal di Hong Kong
Agus Riwayanto, tinggal di Horoekimae, Jepang
Budi Satya Pramudia, tinggal di Beckenham, Australia
Jumiko Sakarosa, tinggal di Gosnells, Australia
Ratih Ratna Purnami, tinggal di Langford, Australia
Fatma Lenggogeni, tinggal di New South Wales, Australia
Edwin Syafdinal Syafril, tinggal di Al-Khor, Qatar
Agri Sumara, tinggal di Al-Kohr, Qatar
(detikNews Senin, 03 Jan 2022 12:00 WIB
Ramainya para tokoh dan WNI dari berbagai penjuru dunia melakukan gugatan presidential threshold, karena didorong oleh kesadaran untuk menyelamatkan demokrasi yang dibajak para oligarki.
Gugatan presidential threhold 20 persen terus berdatangan ke MK. Tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga datang dari WNI di berbagai penjuru dunia. https://t.co/DQYvby6p8K
— detikcom (@detikcom) January 3, 2022
Puluhan WNI dari Amerika hingga Qatar Gugat Presidential Threshold
https://t.co/CIPHBQhuKH— Katadata.co.id (@KATADATAcoid) January 3, 2022
Kesadaran Bersama
Indonesia sebagai negara demokrasi, adalah milik bersama. Oleh karena itu, kita apresiasi tumbuhnya kesadaran para tokoh dan Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menyelamatkan Indonesia dari cengkeraman para oligarki yang menjadikan demokrasi sebagai sarana mempertahankan penguasaan ekonomi secara masif melalui perselingkuhan penguasa politik dan ekonomi.
Presidential Threshold 20 persen merupakan cara yang paling efektif untuk mempertahankan hegemoni politik dan ekonomi. Maka, kita apresiasi tumbuhnya kesadaran rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh para tokoh Indonesia dan WNI yang berdiaspora di berbagai negara untuk menggugat Presidential Threshold 20 persen, sebagai wujud rasa memiliki dan rasa tanggung jawab terhadap Indonesia.
Setidaknya ada lima alasan untuk menghapus Presidential Threshold 20 persen menjadi 0 persen.
Pertama, untuk mengembalikan demokrasi secara murni dan konsekuen, yaitu dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
Kedua, untuk menyelamatkan demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia untuk membangun Indonesia.
Ketiga, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang terbaik dan terhebat dari bangsa Indonesia. Untuk merealisasikan hal tersebut, mustahil terwujud kalau calonnya masih berdasarkan Presidential Threshold 20 persen.
Keempat, untuk mengakhiri dugaan praktik korupsi dalam proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Kelima, untuk mengakhiri dominasi oligarki politik dan ekonomi dalam praktik demokrasi di Indonesia.
Presidential Threshold 20% Memicu Politik Transaksional dan Demokrasi Kriminal. Rizal Ramli: Banyak Calon yang Dibiayai Bandar
Dialog CNN dgn DR. Rizal Ramli dan Andreas Pereira, PDIP
https://t.co/IRIuBNgTA8— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) December 17, 2021
Suara dari para tokoh perlu didengar dan diakomodir untuk memperbaiki sistem demokrasi dan meningkatkan kualitas demokrasi kita. Sila baca tulisan saya yang terbaru. https://t.co/t5pHdfZOaL
— Musni Umar (@musniumar) November 22, 2021
Alasan Para Penggugat
Salah satu alasan pemohon meminta Pasal 222 UU Pemilu dihapus adalah partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung capres sering kali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemodal (oligarki politik).
“Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) telah mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan yang terbaik dan terhebat dari kalangan bangsa Indonesia.”
Selain itu, pemohon menilai masalah yang terkait dengan presidential threshold ini bukanlah masalah yang biasa-biasa saja dan bisa dipandang ringan bagi kelangsungan bangsa Indonesia ke depan. Para pemohon memandang ini masalah pokok utama terkait pengembangan demokrasi ke depan.
Gatot Nurmantyo, Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20 persen menjadi 0 persen ke MK. Menurutnya, dalam ilmu hukum secara teoretik dikenal prinsip ‘law changes by reasons’. Dalam tradisi fikih juga dikenal prinsip yang sama, yaitu ‘fikih berubah jika illat-nya (alasan hukumnya) berubah’.
Dua anggota DPD, Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung, pertama, menggugat ke MK soal presidential threshold (PT) meminta doa dukungan kepada seluruh Indonesia agar demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan untuk menghapus Presidential Threshold 20 persen menjadi nol.
“Kedua, kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen,” tegas Fachrul Razi.
Selain itu Lieus Sungkharisma, aktivis sosial ikut menggugat Presidential Threshold 20 persen dengan alasan, suatu hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional (constitutional right) tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah (undang-undang). Ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilihan umum jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
“Terutama Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” ujar Lieus.
Disamping itu, Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama Putra, ketiganya anggota DPD RI mengajukan gugatan serupa. Menurut Fahira Idris dkk, Norma Pasal 222 UU a quo bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan (3) yang memberikan kesempatan kepada setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, serta untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Bahwa dengan berlakunya pasal a quo, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, khususnya terkait dengan sistem pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” beber Fahira Idris yang memberikan kuasa ke Ahmad Yani itu.
Persoalan pertama dalam gugatan presidential threshold, yakni legal standing. https://t.co/Nn8AdRr8I7
— Republika.co.id (@republikaonline) January 4, 2022

Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
