Korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Setidaknya ada lima alasan untuk memastikan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Pertama, korupsi merampok uang negara, dampaknya merugikan uang negara.
Kedua, korupsi memberi dampak yang sangat negatif terhadap seluruh program pembangunan, karena sebagian dananya di korupsi.
Ketiga, kualitas pendidikan rendah karena gaji guru dan pegawai tidak bisa dinaikkan karena sebagian uang negara dikorupsi.
Keempat, kualitas bangunan atau proyek rendah, karena sebagian biaya pembangunan atau proyek dikorupsi.
Kelima, umur semua bangunan atau proyek, sangat singkat karena kualitas bangunan atau proyek rendah, akibat biaya pembangunan dikorupsi.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, merespons soal dua putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, yang dilaporkan Ubedilah Badrun terkait dugaan tindak pidana korupsi. https://t.co/6gnLiycm7Z
— detikcom (@detikcom) January 11, 2022
Mengapa Orang Korupsi?
Sudah sangat banyak uang negara yang dikorupsi, dan sudah banyak pula koruptor ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Walaupun begitu, korupsi tetap banyak yang melakukannya.
Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan orang melakukan tindak pidana korupsi.
Pertama, korupsi karena kebutuhan (Corruption by need). Korupsi jenis ini dilakukan oleh orang kecil (wong cilik) untuk menutupi kebutuhan sehari-hari seperti menjual kertas di kantor untuk mendapat uang tambahan karena gaji kecil. Contoh lain, pada saat pemilu, rakyat kecil menerima sogokan agar memilih seorang calon anggota legislatif, atau calon kepala daerah yang memberi uang.
Kedua, korupsi karena serakah (Corruption by Greed). Korupsi jenis ini banyak dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Motif mereka korupsi karena serakah, menumpuk harta sebanyak-banyaknya untuk kepentingan yang bersangkutan dan anak cucunya.
Ketiga, korupsi karena kepentingan politik (Corruption by political interest). Di era demokrasi sekarang sangat banyak politisi yang terlibat korupsi. Penyebab utama, biaya politik yang sangat mahal. Mulai dari proses pencalonan, partai politik memungut biaya pendaftaran. Proses sosialisasi, tim yang dibentuk untuk membantu sosialisasi, harus dibayar. Begitu pula, alat peraga sosialisasi seperti stiker, spanduk, kartu nama dan sebagainya, memerlukan uang yang tidak sedikit.
Selain itu, pada saat kampanye perlu biaya pengerahan massa, konsumsi, transportasi, dan sebagainya. Maka untuk bisa memenangkan persaingan bebas memerlukan biaya yang amat besar.
Pertanyaannya dari mana memperoleh dana yang besar? Para politisi yang bukan pengusaha memanfaatkan kedudukan untuk main proyek. Kepala Daerah, dapat komisi proyek sebagai persiapan untuk bertanding pada pemilihan berikutnya.
Para politisi di DPR dan DPRD bermain mata dengan eksekutif dan pengusaha untuk menggolkan proyek, dengan komitmen komisi sekian persen. Main proyek banyak tertangkap tangan karena menerima suap. Begitu pula, Kepala Daerah sangat banyak yang terkenal OTT (Operasi Tangkap Tangan).
Abdul Gafur Mas'ud beserta 10 orang lainnya ditangkap KPK dan mengamankan sejumlah uang saat melakukan OTT. https://t.co/hsJ7ia7nH4
— detikcom (@detikcom) January 13, 2022
Perkara kasus korupsi Asabri masuk babak baru. Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dituntut hukuman mati. https://t.co/k2hKPDEMb6
— detikcom (@detikcom) December 10, 2021
Terdakwa kasus dugaan korupsi dana ASABRI Letjen TNI (Purn) Sonny Widjaja dan Mayjen TNI (Purn) Adam Damiri jalani sidang vonis. Mereka divonis 20 tahun penjara https://t.co/73B97vAHan
— detikcom (@detikcom) January 4, 2022
Masyarakat Dukung Hukuman Mati
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan masyarakat setuju pemberian hukuman mati kepada koruptor kelas kakap. Survei Indikator Politik Indonesia digelar pada 6-11 Desember 2021. Populasi survei tersebut adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum.
Penarikan sampel survei Indikator menggunakan metode multistage random sampling. Total sampel 2020 responden, dengan sampel basis sebanyak 1.220 orang yang tersebar proporsional di 34 provinsi, serta dilakukan penambahan sebanyak 800 responden di Jawa Timur.
Dalam survei, responden ditanyai seputar pengetahuannya mengenai wacana pemberian hukuman mati kepada koruptor. Hasilnya, 52,8 persen responden mengaku belum tahu adanya wacana hukuman mati bagi koruptor kelas kakap.
“Jika tahu apakah ibu/bapak setuju dengan penerapan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap?” bunyi pertanyaanya.
“Sangat setuju 42,2 persen. Setuju 54,4 persen. Kurang setuju 2,6 persen, tidak setuju sama sekali 0,5, tidak tahu/tidak jawab 0,3 persen,” katanya.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mendukung hukuman mati bagi koruptor kakap.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan masyarakat setuju pemberian hukuman mati kepada koruptor kelas kakap. https://t.co/ix9EPl46sv
— detikcom (@detikcom) January 10, 2022
Pertanyaannya, mengapa masyarakat mendukung hukuman mati bagi koruptor?. Secara sosiologis, setidaknya ada lima alasan masyarakat mendukung hukuman mati bagi koruptor kakap.
Pertama, korupsi secara sederhana maknanya sama dengan pencuri atau maling. Bedanya kalau korupsi yang dicuri uang negara, sedang maling yang dicuri uang masyarakat. Akan tetapi, uang negara pada hakikatnya uang rakyat juga yang dihimpun dari pajak. Maka, masyarakat sangat setuju dan setuju jika koruptor kakap di hukum mati.
Kedua, hukuman bagi pencuri yang dipahami dan dihayati oleh masyarakat ialah potong tangan. Hukuman semacam itu bersumber dari ajaran agama yang dihayati oleh masyarakat Muslim. Kalau maling saja, hukumannya potong tangan, maka koruptor kakap sangat adil menurut perspektif masyarakat jika hukumannya hukuman mati.
Ketiga, korupsi telah menyengsarakan masyarakat langsung atau tidak langsung. Buktinya kalau bangun jembatan dan jalan, cepat rusak sebab dibangun tidak sesuai rencana lantaran sebagian dananya dikorupsi. Itu sebabnya mayoritas masyarakat memberi dukungan untuk menghukum mati koruptor kakap.
Keempat, korupsi telah merusak masyarakat, bangsa dan negara. Korban pertama dan utama adalah masyarakat. Mereka yang korban tidak hanya generasi sekarang tetapi anak cucu mereka akan menanggung penderitaan, sebab dampak dari korupsi sangat panjang. Pembangunan yang dilaksanakan dibiayai sebagian dari utang, sementara tidak semua dipergunakan tetapi dikorupsi, akan ditanggung generasi mendatang. Oleh karena utang harus dibayar tidak hanya utang pokok juga bunganya.
Kelima, untuk memberi efek jera dan membuat takut para pejabat dan politisi agar tidak melakukan korupsi. Kalau koruptor kakap dihukum mati, pasti pasti banyak.
Oleh karena itu, dapat dipahami, jika masyarakat Indonesia setuju dan mendukung hukuman mati bagi koruptor kakap. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan payung hukum yang kuat berupa undang-undang agar bisa dilaksanakan dengan baik.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
