Tanah bagi warga wadas masyarakat desa, mempunyai multi fungsi, tidak saja sebagai tempat bermukim (bertempat tinggal), tetapi juga berfungsi sosial sebagai tempat mereka berkumpul, berinteraksi dan saling menolong.
Selain itu, tanah bagi masyarakat desa berfungsi pula sebagai tempat untuk memproduksi makanan melalui kegiatan bertani dan berkebun. Juga tanah tempat mereka bermukim secara turun-temurun mempunyai fungsi kesejarahan, fungsi budaya dan bahkan fungsi religi sebagai tempat mereka akan dimakamkan kalau meninggal dunia.
Oleh karena itu, warga masyarakat yang bermukim di desa secara turun temurun tidak mudah melepaskan tanah mereka untuk kepentingan apapun termasuk untuk kepentingan tambang atau membangun bendungan.
Masalah tersebut tidak banyak dipahami dan dihayati masyarakat kota, yang sangat jauh berbeda dalam memaknai fungsi tanah. Bagi masyarakat kota, tanah hanya berfungsi sebagai tempat untuk membangun rumah atau bisnis, yang setiap saat bisa dijual ke pihak lain.
Ricuh di Desa Wadas Purworejo, Sekelompok Warga Tolak Proyek Bendungan https://t.co/i7GAWNa4Fu
— VIVAcoid (@VIVAcoid) February 8, 2022
Walhi Beberkan 3 Alasan Warga Tolak Serahkan Lahan, 'Tanah Surga' Wadas Terancam jadi Tambang Batu https://t.co/WrRHVzVe4K
— Pikiran Rakyat (@pikiran_rakyat) February 9, 2022
Warga Wadas Tolak Pembukaan Lahan Pertambangan
Berpijak dari pemahaman dan penghayatan masyarakat desa Wadas dan realitas yang dialami masyarakat di desa tersebut bahwa pekerjaan utama mereka adalah bertani dilahan yang mereka miliki sekarang.
Jika tanah mereka dibeli untuk kepentingan proyek penambangan batu andesit yang merupakan bagian dari pembangunan bendungan bener, maka pertanyaannya, bagaimana nasib mereka di masa depan.
Telah dijelaskan bahwa pembebasan lahan untuk membangun bendungan yang mengairi sawah di kawasan yang luas, lahan sawah yang diairi bukan lahan sawah mereka dan tidak ada jaminan mereka bisa memiliki lahan sawah seperti yang mereka miliki sekarang.
Maka, sangat masuk akal, jika banyak masyarakat yang menolak menjual tanah, apalagi jika harga tanah tidak ganti untung. Belum lagi kalau ada permainan calo tanah, yang membuat harga tanah mereka rendah, dan pembayarannya tidak kontan (tunai).
Selain itu, masyarakat di desa Wadas berdasarkan pemberitaan di media diduga mendapat teror dari berbagai pihak dan sekarang ini ada yang manfaatkan masyarakat desa Wadas yang sudah bersedia menjual tanah, untuk memprovokasi masyarakat yang menolak menjual tanahnya.
Mengamati kondisi yang dialami masyarakat desa Wadas sangat memprihatinkan. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, membebaskan semua warga desa Wadas yang ditahan aparat sesuai janji Kapolda Jawa Tengah.
Kedua, melakukan dialog terbuka tanpa memaksa mereka dengan melibatkan akademisi yang pakar hukum dan sosial sebagai mediator yang independen.
Ketiga, memberi kompensasi kepada warga desa Wadas yang telah bersedia menjual tanahnya dengan ganti untung bukan ganti rugi agar mereka bisa membeli tanah sawah ditempat lain.
Keempat, dalam musyawarah, warga desa Wadas tidak boleh mendapat tekanan atau intimidasi dari manapun, baik pada saat musyawarah maupun sebelum dan sesudah musyawarah.
3 Alasan Warga Wadas Tolak Proyek Bendungan, Begini Kondisinya Sekarang https://t.co/3pYnOv2qEA
— suaradotcom (@suaradotcom) February 9, 2022
Saat ini 64 warga itu masih berada di Polres Purworejo. Kapolda Jateng menjamin tidak ada penangkapan maupun penahanan terhadap mereka. https://t.co/a3JnlSIRh0
— detikcom (@detikcom) February 9, 2022
64 Warga Wadas yang Ditangkap Polisi Dipulangkan, Tetap Tolak Tambang https://t.co/har9GpCKPS
— Detik jateng (@detik_jateng) February 9, 2022
Telah Menjadi Isu Nasional
Peristiwa yang dialami warga desa Wadas telah menjadi isu nasional. Kemarin (8/2) sampai hari ini ramai sekali pemberitaan di media sosial sehubungan aparat gabungan menyeruduk masuk ke desa Wadas. Masyarakat desa Wadas melakukan penolakan pembukaan lahan pertambangan andesit yang menjadi bagian dari pembangunan bendungan bener di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Ramainya pemberitaan masalah tersebut tidak terlepas diturunkannya aparat gabungan dalam jumlah besar ke Desa Wadas untuk mengamankan proses pengukuran lokasi, tempat penambangan tambang andesit yang merupakan bagian dari pembangunan bendungan bener.
Mengetahui rencana pemerintah mengukur lahan mereka, masyarakat mengkonsolidasikan diri untuk melawan dengan berkumpul di Masjid untuk berdoa. Pada saat yang sama, aparat gabungan dalam jumlah besar masuk ke desa Wadas. Dampaknya masyarakat berhadap-hadapan dengan aparat gabungan bersenjata, sehingga terjadi chaos dan penangkapan warga dalam jumlah yang besar.
Bahkan dalam pemberitaan di media sosial, aparat gabungan ada yang masuk ke rumah warga yang diberitakan dalam video dan terjadi semacam “intimidasi’ kepada warga yang di duga menolak melepas tanahnya.
Masalah tersebut seperti dikemukakan di atas telah menjadi isu nasional karena yang mengomentari kejadian tragis di desa Wadas itu, berbagai organisasi massa seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, MUI, Transparancy International, LBH Yogyakarta, Kontras dan sejumlah tokoh nasional seperti Rizal Ramli, Susi Pudjiastuti, Muhaimin Iskandar, Said Didu dan lain-lain.
Sejak kemarin sampai hari ini kecaman kepada Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah luar biasa karena dianggap tidak memberi pembelaan dan perlindungan terhadap warganya. Hari ini (9/2) dia sudah menyampaikan permintaan maaf kepada warga Desa Wadas, warga telah menolaknya.
Kita berharap proyek yang akan dibangun di desa Wadas dibatalkan saja. Kalau mau dilanjutkan masyarakat yang terkena proyek tersebut harus mendapatkan kompensasi bukan ganti rugi tetapi ganti untung terhadap tanah mereka, agar kehidupan mereka lebih baik di masa depan. Penyelesaian masalah ini sebaiknya melalui musyawarah yang dimediasi akademisi dari universitas di Jawa Tengah.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
