Sebagai warga NU kultural saya terpanggil menulis analisis “25% Warga NU Jawa Tengah Pengangguran,” yang menjadi tajuk berita di media (jppn.com, Jumat, 11 Februari 2022 – 10:05 WIB).
Analisis ini kita kaitkan dengan kasus di desa Wadas yang sedang ramai dibicarakan publik dan menjadi pemberitaan media nasional yang masif karena mayoritas warga desa Wadas menolak tambang di desa mereka. Menariknya lagi warga desa Wadas adalah warga Nahdlatul Ulama.
Dari 4,1 juta nahdiyin Jateng didominasi pengangguran. Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf minta datanya dicek ulang. Berikut ini perinciannya. #nahdiyin https://t.co/qnFjVbw3tf
— JPNN.com (@jpnncom) February 11, 2022
Aksi Solidaritas Wadas, Ratusan Mahasiswa di Semarang Gelar Unjuk Rasa https://t.co/zn5ToRmxLr
— tvOneNews (@tvOneNews) February 11, 2022
Pengangguran Yang Ada
Ketua Wilayah Nahdlatul Ulama dalam M ofukerwil PWNU Jawa Tengah dan Harlah NU ke-99 H. mengemukakan bahwa dari 4,1 juta nahdiyin Jateng didominasi pengangguran.
Dia perincikan profesi Nahdiyin Jawa Tengah yaitu sebanyak 622.586 atau 14,82% bekerja sebagai buruh tani, pabrik, dan bangunan. Kemudian, sebagai guru dan dosen sebanyak 600.197 atau 1,4%. Lalu, TNI-Polri sebanyak 3.341 atau 0,08%, dan politikus sebanyak 0,03%.
KH Ubaid melanjutkan bahwa Nahdiyin yang bekerja sebagai sopir, masinis, dan kondektur sebanyak 0,5 persen. Lalu, sebanyak 729.975 atau 17,36% sebagai petani dan peternak.
Dari gambaran di atas dapat dikemukakan bahwa dari 4,1 juta Nahdiyin terdapat 25% sebagai pengangguran.
Ramai-ramai Kecam Aksi Aparat di Wadas, NU & Muhammadiyah Buka Suara https://t.co/f0HaT5gTIE
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) February 9, 2022
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas, menyatakan Muhammadiyah mengecam segala bentuk tindakan intimidatif, represif, dan konfrontatif oleh aparat di Desa Wadas. https://t.co/FsUIGPi8lc
— Hidayatullah.com (@hidcom) February 10, 2022
Dampak Negatif Pengangguran
Masalah pengangguran Nahdiyin di Jawa Tengah sangat memprihatinkan. Setidaknya ada enam alasan pengangguran Nahdiyin amat memprihatinkan.
Pertama, pengangguran berkontribusi meningkatnya kemiskinan. Kalau miskin, maka akan memberi dampak negatif yang bermacam-macam seperti kekurangan gizi, berkurangnya tingkat kecerdasan anak dan sebagainya.
Kedua, pengangguran bisa meningkatkan kriminalitas. Kita bersyukur Nahdiyin yang kuat agama, tidak melakukan tindakan kriminal. Walaupun begitu, diyakini menimbulkan persoalan dalam keluarga misalnya biaya pendidikan anak jika sudah berkeluarga, biaya hidup dan sebagainya.
Ketiga, pengangguran dapat memunculkan konflik antara warga negara dengan pemerintah. Inipun patut disyukuri tidak terjadi di kalangan Nahdiyin dengan pemerintah karena peran ulama dikalangan Nahdiyin yang amat kuat.
Keempat, pengangguran menyebabkan terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi dan kesempatan bekerja. Ini yang terjadi dikalangan Nahdiyin dan bukan Nahdiyin.
Kelima, pengangguran menyebabkan seseorang kehilangan harga diri, keahlian dan kehormatan di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Keenam, pengangguran di kalangan Nahdiyin di Jawa Tengah sejatinya telah menurunkan daya saing pribadi Nahdiyin dan bangsa.
Konflik Wadas, Komnas HAM Minta Utamakan Pendekatan Humanis https://t.co/EGC95QOc8a
— Jawa Pos (@jawapos) February 11, 2022
"Negeri terluka"
Dimana surga seperti wadas dan tempat2 lainnya di keruk sampai tandas untuk segelintir kelas saja.Sumber : ig @AngrySipelebegu #WadasMelawan #CabutIPLWadas#StopTambangWadas pic.twitter.com/JC6tyVNiDW
— Front Nahdliyyin (@fnksdajogja) February 11, 2022
Sibukkanlah orang2 zhalim dengan orang zhalim lainnya. Selamatkanlah kami dari kejahatan mereka. Aamiin
Ayok dulur-dulur kita perbanyak sholawat Asyghil untuk mujahadah perjuangan Desa Wadas.#WadasMelawan#TarikAparatDiWadas#FaktaWadashttps://t.co/m9Q10OXj0t
— Front Nahdliyyin (@fnksdajogja) February 11, 2022
Memahami Aspirasi Warga Desa Wadas
Menurut laporan Ketua PW NU Jawa Tengah sebanyak 729.975 atau 17,36% warga NU di Jawa Tengah sebagai petani dan peternak. Ini merupakan profesi terbanyak Nahdiyin di Jawa Tengah.
Dengan demikian, dapat dipastikan warga desa Wadas yang tengah berjuang untuk menolak tambang di desa mereka adalah warga Nahdlatul Ulama.
Media memberitakan bahwa mereka mendukung pembangunan bendungan yang berjarak sekitar 10 km lebih dari desa mereka, tetapi menolak keras desa mereka dijadikan pertambangan.
Mengapa mereka menolak tambang? Karena faktor ekonomi, sebab tempat mereka mencari nafkah dengan cara bertani. Kekayaan hasil bumi Desa Wadas melimpah. Masyarakat yang bekerja sebagai petani di desa itu menyebut Wadas sebagai tanah surga. Hasil alam Wadas dapat memenuhi kebutuhan serta menyejahterahkan mereka.
Berdasarkan catatan Walhi, bumi Wadas adalah tanah surga. Kawasan ini memiliki kekayaan alam yang melimpah. Peraturan Daerah Purworejo nomor 27 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), menetapkan desa ini sebagai kawasan untuk perkebunan. Komoditas pertahun yang dihasilkan cukup fantatis, yakni mencapai Rp8,5 miliar.
Angka itu diperoleh dari komoditas kayu keras Rp5,1 miliar per lima tahun yang telah mencukupi kebutuhan hidup masyarakat. Pisang Rp202,1 juta/bulan, cengkeh Rp64,4 juta/tahun, petai Rp241,3 juta/tahun, kemukus Rp1,35 miliar/tahun, cabai Rp75,6 juta/bulan, kapulaga Rp156 juta/bulan, karet Rp131,8 juta/hari, kelapa Rp707 juta/bulan, akasia Rp45,7 juta/tahun, mahoni Rp1,56 miliar/5 tahun, hingga aren 2,6 miliar/hari.
Jika dijadikan area pertambangan, maka penghidupan mereka akan tergerus. Bisa jadi mereka masuk ke dalam 25% Nahdiyin yang pengangguran karena tanah tempat mereka hidup diambil oleh investor.
Akhirnya saya mengingatkan kembali bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah untuk menyejahterakan rakyat. Paling tahu suatu proyek pembangunan menyejahterakan rakyat atau sebaliknya adalah rakyat sendiri.
Oleh karena itu, penolakan warga desa Wadas untuk pertambangan di desa mereka sepatutnya didengar dan dikabulkan. Jangan demi pembangunan, rakyat dikorbankan. Warga desa Wadas dukung pembangunan bendungan, tetapi mereka menolak desa mereka dijadikan pertambangan yang dalihnya untuk menopang pembangunan bendungan.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
