Mulai Mei tahun 2022, Para Aparatur Sipil Negara akan mulai menggantikan ratusan kepala daerah yang habis masa baktinya, termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 16 Oktober 2022.
Kebijakan itu bermula dari keputusan politik yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada). Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada menyatakan seluruh pilkada digelar serentak pada November 2024.
Dengan demikian, kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2020 hanya akan menjabat sekitar 3 tahun. Sementara, kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2017 dan 2018 tak bisa ikut Pilkada hingga 2024.
“Untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala Daerah yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana di atur dalam ayat (3), dan yang berakhir masa jabatannya tahun 2023 sebagaimana diatur dalam ayat (5), akan diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.” Begitu bunyi pasal 201 ayat (9) UU Pilkada.
Undang-undang Pilkada tersebut menyebut Pj. Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya, setara ASN eselon I. Adapun Pj. Bupati/Wali Kota berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama, setara ASN eselon II.
Pj. Kepala Daerah memiliki masa jabatan satu tahun dan bisa diperpanjang satu tahun berikutnya. Pemerintahan daerah akan dipimpin oleh Pj. Kepala Daerah hingga Kepala Daerah hasil Pilkada Serentak 2024 dilantik.
Anies menyebut bahasan utama akan fokus ke persoalan urban di seluruh dunia https://t.co/aRVBPCW1a9
— Republika.co.id (@republikaonline) February 16, 2022
Gubernur Anies Baswedan mengatakan Jakarta siap menjadi tuan rumah pertemuan puncak para pemimpin kota dunia dalam acara Urban 20 (U20) Mayors Summit 2022. #TempoMetro https://t.co/zTMtwXV2EE
— TEMPO.CO (@tempodotco) February 18, 2022
Pemilu 5 Tahun Sekali
Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah menegaskan bahwa pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
Bukan saja pemilihan umum anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali, tetapi juga pemilihan Kepala Daerah diadakan secara berkala sekali dalam lima tahun.
Dalam negera demokrasi, merupakan keniscayaan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara periodik sebagai sarana rakyat mengawasi wakilnya yang duduk di lembaga legislatif.
Pemilu tidak saja sebagai sarana rakyat mewujudkan hak demokrasinya, tetapi sarana mengekspresikan bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan. Melalui pemilu, rakyat mewujudkan kedaulatannya.
Pemilihan umum tidak saja memilih para wakil rakyat untuk duduk di lembaga legislatif, tetapi juga di era Orde Reformasi, rakyat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga memilih Kepala Daerah yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur. Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Khusus pemilihan Kepala Daerah, tidak disebut pemilihan umum (pemilu), tetapi pemilihan Kepala Daerah dengan akronim Pilkada.
Walaupun begitu, esensinya adalah sama yaitu pemilihan yang dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
Oleh karena itu, pemilihan umum dan pemilihan Kepala Daerah harus dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Menunda pemilihan Kepala Daerah tanpa alasan force majeure (keadaan memaksa) adalah tidak sah, melanggar asas demokrasi dan konstitusi yang mewajibkan pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan pihaknya punya visi mengubah Jakarta jadi pemimpin dunia dalam transportasi publik. #TempoMetro https://t.co/bM3hAgvS6r
— TEMPO.CO (@tempodotco) February 18, 2022
Fahira Idris Soroti Faktor Kepentingan di Balik Pengganti Anies Dkk https://t.co/tg0pPUo48f
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) February 17, 2022
UU Pilkada dan Judicial Review
Untuk menguji keabsahan penundaan Pilkada, sebaiknya dilakukan pengujian judisial (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Akan tetapi, pengujian yudisial di Mahkamah Konstitusi sejauh ini belum ada yang mengajukan. Sangat berbeda dengan Presidential Threshold (PT) yang sangat banyak yang mengajukan pengujian yudisial di Mahkamah Konstitusi.
Untuk menguji kesahihan penundaan Pilkada dan pelantikan penjabat Kepala Daerah harus dilakukan pengujian yudisial di Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena menurut saya yang bukan pakar hukum tata negara, penundaan pemilihan Kepala Daerah tanpa alasan keadaan memaksa (Force Majeure) adalah tidak sah.
Apalagi penundaan pemilihan Kepada Daerah dalam rentang waktu cukup yang lama dan sekitar 50 persen dari Kepala Daerah di Indonesia yang habis masa baktinya harus dilantik penjabat dari Aparatur Sipil Negara (ASN) tanpa melalui pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Untuk menguji keabsahan penundaan Pilkada dan pengangkatan Penjabat Kepala Daerah tanpa melalui pemilihan Kepala Daerah, apakah melanggar konstitusi dan asas demokrasi yang sangat fundamental, sebaiknya dilakukan pengujian yudisial di Mahkamah Konstitusi.
Saya optimis UU Pilkada yang menunda Pilkada sampai 2024 akan dibatalkan oleh MK dan Anies bisa berkompetisi dalam pemilihan Gubernur paling tahun 2023, peluang terpilih kembali menjadi Gubernur Jakarta sangat besar sebelum Anies bertarung dalam pemilihan umum Presiden tahun 2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menunda persidangan perkara pengujian undang-undang, terhitung sejak 14 hingga 20 Februari 2022. #TempoNasional https://t.co/wile5bcVnn
— TEMPO.CO (@tempodotco) February 16, 2022
Pemilu 2024 Digelar 14 Februari, Pilkada 27 November https://t.co/qwjc186UkZ
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) January 25, 2022

Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
