Perbincangan publik di seluruh Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini sangat ramai karena krisis minyak goreng yang mengakibatkan emak-emak antri, 2 orang meninggal dunia.
Semula minyak goreng langka di pasar, namun setelah Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000/liter dicabut oleh pemerintah, dalam waktu sekejap semua toko swalayan penuh dengan berbagai merk dan kemasan minyak goreng, tetapi harganya melambung tinggi.
Menyikapi kelangkaan minyak goreng, Komisi VI DPR RI membentuk Panita Kerja (Panja) untuk usut kelangkaan minyak goreng. Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung dibentuk hak angket minyak goreng.
Menyikapi Permasalahan Minyak Goreng, @PKSejahtera Usulkan Hak Angket dan Pansus Minyak Goreng. Jadi karena dikritik olh PKS, maka sikap Pemerintah soal minyak goreng sudah benar? Kaedah aneh itu kembali terbukti kesalahannya. https://t.co/0hzyNVBiMr
— Hidayat Nur Wahid (@hnurwahid) March 19, 2022
PKS Usulkan Hak Angket Minyak Goreng, Pakar: Agar Ketahuan Akar Masalahnya https://t.co/9ID2KHwDTv #TempoNasional
— TEMPO.CO (@tempodotco) March 19, 2022
Panja sudah sepakat untuk memanggil regulator, asosiasi distributor minyak goreng, dan pelaku usaha dalam waktu dekat. https://t.co/HFTf3TtroY
— Kompas.com (@kompascom) March 22, 2022
Kritik Keras BEM UI Akan Krisis Minyak Goreng
Paling menarik, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) sebagai motor gerakan perubahan di Indonesia mengkritik kebijakan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak goreng. Mereka menilai pemerintah telah gagal menangani masalah salah satu komponen bahan pokok ini.
“Pak Jokowi, rakyatmu terbunuh akibat minyak goreng,” demikian bunyi keterangan BEM UI sebagaimana disampaikan lewat akun Instagramnya, didapatkan detikcom dari Ketua BEM UI, Bayu Satria Utomo, Senin (21/3/2022).
Selain itu, BEM UI menyinggung ada warga yang meninggal dunia saat antri minyak goreng. Menurut catatan detikcom, peristiwa itu terjadi di Berau Kalimantan Timur, dialami oleh ibu-ibu bernama Sandra (41). Dia terjatuh saat baru mengantre 10 menit di Jl. Kampung Cina, Kecamatan Teluk Bayur, Sabtu (12/3) pagi, dan meninggal dunia di perjalanan menuju ke rumah sakit. Ada lagi Rita Riyani (49) yang meninggal dunia, diduga karena kelelahan berburu minyak goreng. Dia meninggal dunia di RSUD AW Syahranie, Samarinda, Selasa (15/3).
Krisis minyak goreng yang melanda Indonesia belakangan ini menyisakan cerita duka yang menyayat hati. Sebagaimana dikemukakan di atas, setidaknya ada dua orang yang meninggal dunia setelah mengantri di pasar ritel untuk mendapatkan minyak goreng. Amat disayangkan, pemerintah seolah menutup mata terhadap krisis minyak goreng yang telah menelan korban jiwa ini.
Menurut amatan BEM UI, kelangkaan minyak goreng sudah dimulai saat 2021, yakni saat dunia sedang memulihkan diri dari pandemi COVID-19. Saat itu, harga minyak sawit mentah (CPO) dunia naik. Hasil produksi sawit di Indonesia kemudian tertarik untuk mencukupi kebutuhan dunia lewat ekspor.
Pada 26 Januari 2022, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit. Ditetapkanlah harga minyak goreng curah Rp 11.500,00 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500,00 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000,00 per liter.
Ternyata, aturan HET itu tidak mampu menahan lonjakan harga. Kelangkaan minyak goreng justru terjadi lantaran pedagang dilema menjual minyak goreng sesuai HET yang di bawah harga pasar itu.
Pada 16 Maret, HET itu dicabut lewat pencabutan Permendag Nomor 6 Tahun 2022. Harga minyak goreng diserahkan ke mekanisme pasar.
Menurut BEM UI, “pencabutan peraturan ini merupakan langkah menyerah pemerintah kepada penimbun minyak goreng dan angkat tangan terhadap persoalan ini.”
Usai HET dicabut, stok minyak goreng membanjiri pasaran, namun harga minyak goreng melambung tinggi. “Hal ini kata BEM UI mengindikasikan bahwa pemerintah telah gagal melakukan pengawasan terhadap penimbunan minyak goreng yang terjadi selama kelangkaan minyak goreng di pasaran.”
Mendag Lutfi sempat menyalahkan masyarakat atas kelangkaan minyak goreng di pasaran, lewat pernyataannya pada 12 Maret 2022. Saat itu, Mendag Lutfi menyampaikan imbauan agar masyarakat tidak perlu panic buying, beli secukupnya saja.
Menurut BEM UI, pernyataan Mendag Lutfi merupakan pernyataan minim empati dan sangat disayangkan keluar dari mulut seorang pejabat negara di tengah krisis minyak goreng. Masyarakat yang sebenarnya tidak memiliki akses untuk membeli minyak goreng karena adanya kelangkaan barang di pasaran, justru dituduh sebagai pelaku utama penimbunan.
BEM UI mengkritik kebijakan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak goreng. Mereka menilai pemerintah gagal menangani masalah salah satu bahan pokok ini. https://t.co/DWIuWZhqae
— detikcom (@detikcom) March 21, 2022
BEM UI Kritik Jokowi, Rakyatmu Terbunuh Akibat Minyak Goreng! https://t.co/HHz9KHp9jH
— Bisnis.com (@Bisniscom) March 22, 2022
Mahasiswa di Jambi menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur Jambi. Mereka menuntut harga minyak goreng di pasaran diturunkan. https://t.co/hSiytrMhIZ
— detikcom (@detikcom) March 22, 2022
Revitalisasi Peran Bulog Diperlukan
Dalam menyikapi langkanya minyak goreng di pasar dan naiknya harga sembako di tanah air, sebagai sosiolog saya teringat peran Bulog di masa Orde Baru, yang mampu menyediakan sembako dan menjaga stabilisasi harga sembako.
Akan tetapi, pasca reformasi peran Bulog diamputasi sehingga kedudukannya tidak lebih sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang harus mencari keuntungan.
Dampaknya, Bulog tidak lagi mampu menjadi seperti Bulog di masa Orde Baru yang sanggup menyediakan sembako secara murah dan terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.
Menurut pengamatan saya, harga sembilan bahan pokok (sembako) diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikontrol oleh para pedagang importir atau eksportir. Negara tidak hadir untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
Dampak dari kebijakan tersebut, tidak ada stabilisasi harga seperti di masa Orde Baru. Sebagai contoh, para pengusaha besar produsen sawit dan minyak sawit dengan bebas mengatur pasar. Kalau tidak menguntungkan, pasokan barang di pasar bisa hilang, dan barang sembako akan segera kembali membanjiri pasar, jika harganya dilepas ke mekanisme pasar bebas.
Dengan demikian, keberadaan negara dalam melindungi rakyat untuk memenuhi kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) yang harganya murah dan terjangkau, sudah tidak ada. Dampaknya rakyat Indonesia menjadi korban dari kebijakan liberalisasi yang sangat menguntungkan para kapitalis yang berkolaborasi dengan penguasa.
Untuk mengakhiri penderitaan rakyat, maka Bulog harus dikembalikan perannya sebagai stabilisator penyediaan pangan sembilan bahan pokok (sembako) dan memastikan harga sembako murah dan terjangkau seperti di masa Orde Baru.
Akhirnya kita berharap, kasus minyak goreng langka dan harganya melejit ketika diserahkan kepada mekanisme pasar yang membuat masyarakat menjerit, bisa diambil pelajaran untuk memperbaiki sistem yang dijalankan selama ini yang lebih banyak merugikan dan membuat rakyat bawah menderita, dapat diperbaiki dengan melakukan revitalisasi peran Bulog (Badan Urusan Logistik), sehingga kelangkaan minyak goreng dan sembako tidak terulang di masa mendatang.
Buruh menuntut harga minyak goreng turun dan harga bahan pokok turun jelang Ramadhan. https://t.co/TYy6Iu7zoX
— Republika.co.id (@republikaonline) March 22, 2022
Lebih dari 300 orang buruh dari berbagai elemen berunjukrasa di depan Kementerian Perdagangan. Mereka menuntut agar Pemerintah mengendalikan harga bahan pokok dan minyak goreng, Selasa, (22/3/2022)📸Ria#PantauElshinta pic.twitter.com/EbQsbF57YO
— Radio Elshinta (@RadioElshinta) March 22, 2022
Jelang Ramadhan, harga sejumlah bahan pokok diketahui mulai merangkak naik. Lalu, apa saja bahan pokok yang mengalami kenaikan harga saat ini? – #Tren https://t.co/tpmayUhAJJ
— Kompas.com (@kompascom) March 22, 2022

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
