Perbedaan sampai kapanpun akan tetap ada dan tidak akan pernah hilang. Hal tersebut dikemukakan A. Anshari Ritonga, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pembina Pendidikan Ibnu Chaldun dalam silaturrahim dengan Pimpinan Universitas dan Fakultas di lingkungan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta (9/5/2022).
Menurut mantan Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan RI bahwa kita harus menghargai perbedaan dan jangan menghilangkan perbedaan karena tidak mungkin bisa dihilangkan. Yang harus dilakukan ialah mencari persamaan untuk menemukan titik temu.
Alhamdulillah Univ. Ibnu Chaldun yg saya pimpin termasuk 10 besar dalam Laporan PDDIKTI 100% pic.twitter.com/yz9HPsepJh
— Musni Umar (@musniumar) April 25, 2022
Piagam Madinah
Nabi Muhammad SAW menurut A. Anshari Ritonga tidak berusaha menghilangkan perbedaan dikalangan penduduk Madinah yang heterogen, tetapi berusaha mempersatukan mereka dalam satu negara.
Dalam upaya mempersatukan penduduk Madinah, Nabi Muhammad SAW membuat satu kesepakatan yang dirangkum satu Piagam yang disebut Piagam Madinah.
Isi Piagam Madinah antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat; serta keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan.
Selain itu, Piagam Madinah mengatur kesepakatan untuk bersama menjaga keamanan dan pertahanan dari serangan pihak luar. Piagam Madinah ini sering disebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia, yang sampai saat ini masih relevan dan banyak dirujuk.
Piagam Madinah dibuat pada tahun pertama hijrah Nabi Muhammad SAW di Madinah, yang pada saat itu jumlah umat Islam masih minim dan masih lemah.
Success Story Bangun Universitas Ibnu Chaldun
Sementara itu, Musni Umar, Rektor Universitas Ibnu Chaldun pada saat silaturrahim dan rapat pimpinan universitas dan pimpinan fakultas mengemukakan pentingnya mempertahankan dan meningkatkan kemajuan Universitas Ibnu Chaldun.
Sosiolog ini mengingatkan pada pimpinan universitas dan fakultas yang baru tentang masa-masa sulit pada awal saya pimpin Universitas Ibnu Chaldun.
Pertama, citra UIC amat buruk akibat konflik di Yayasan sehingga dua kali di nonaktifkan oleh pemerintah (2009-2014 dan 2015 bersama 234 PTS).
Kedua, UIC tidak l uang. UIC mengalami defisit sebesar Rp 1,8 milyar.
Ketiga, jumlah mahasiswa UIC sangat minim hanya sekitar 300 orang.
Keempat, semua program studi mati kecuali hukum dengan akreditasi C.
Kelima, sarana dan prasarana sangat memprihatinkan.
Akan tetapi, berkat semangat yang tinggi disertai kolaborasi antara pimpinan universitas, pimpinan fakultas dan Yayasan, semua kesulitan yang dialami UIC bisa diatasi.
Bukan saja masalah UIC bisa diatasi, tetapi UIC bisa bangkit dan maju. Indikatornya:
Pertama, citra universitas Ibnu Chaldun yang runtuh, bisa diperbaiki. Sekarang ini citra UIC sudah baik.
Kedua, semua program studi di UIC yang mati kecuali hukum dengan akreditasi C, semua sudah di akreditasi dan empat program studi terakreditasi dengan akreditasi B.
Ketiga, jumlah mahasiswa yang semula sangat sedikit, kini jumlah mahasiswa aktif sudah mencapai ribuan orang lebih.
Keempat, semula tidak satupun mahasiswa UIC memperoleh beasiswa, sejak 2017 sampai sekarang, mahasiswa terus memperoleh beasiswa dalam jumlah yang besar yaitu beasiswa Bidik Misi dan sekarang beasiswa KIP Plus.
Kelima, dampak UIC di nonaktifkan dua kali, semua laporan Universitas Ibnu Chaldun di PD Dikti rusak. Alhamdulillah sekarang tahun 2022 menurut LLDikti Wilayah lll DKI Jakarta, Universitas Ibnu Chaldun termasuk 10 besar terbaik dalam Laporan di PD Dikti selama 5 tahun terakhir.
Hasil pembenahan yang dilakukan telah membawa UIC mengalami kemajuan. Semua kemajuan yang diraih merupakan success story yang patut disyukuri, dijaga, dipertahankan dan ditingkatkan.
Kemajuan yang dicapai UIC sekarang bukan saja patut disyukuri, tetapi sangat membanggakan karena dicapai tanpa dukungan dana.
Berikut foto-foto kegiatan

Musni Umar adalah Sosiolog dan Rektor Univ. Ibnu Chaldun Jakarta.
