Connect with us

The Crown Prince and the US President held at Al-Salam Palace in Jeddah. ⁦#SaudiUSSummit #SPAGOV (16/7/2022) - twitter Spa_Eng

Politik

Biden Bertemu MBS: Kekuatan Politik Timur Tengah Akan Melebihi Amerika?

Geopolitik sedang berubah khususnya di Timur Tengah. Kekuatan politik Timur Tengah tidak lagi sepenuhnya di dominasi oleh Amerika Serikat. Akankan kekuatan politik Timur Tengah melebihi Amerika?

Pada saat Joe Biden berkampanye tahun 2020 untuk pencalonan dirinya sebagai presiden Amerika Serikat, Biden mengatakan bahwa dengan kasus pembunuhan Khashoggi, Arab Saudi seharusnya dijadikan ”paria” di panggung internasional.

Atas pernyataan itu, penguasa defacto Mohammad Bin Salman yang populer dengan panggilan MBS, kemudian menjalin hubungan lebih dekat dengan Vladimir Putin, Presiden Rusia dan Xi Jinping, Presiden RRC.

Setelah Rusia berkonflik dengan Ukraina, Amerika Serikat dan negara-negara NATO mendukung Ukraina, sementara RRC secara diam-diam mendukung Rusia, sehingga Rusia dan RRC semakin bersatu dalam melawan Amerika Serikat dan sekutunya.

Arab Saudi sejatinya adalah sahabat lama Amerika Serikat, bahkan dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat merupakan centeng atau penjaga keamanan negara-negara Arab di Timur Tengah. Bukti bahwa Amerika Serikat centeng negara-negara di Timur Tengah, negara adi daya itu memilki pangkalan militer di Arab Saudi, Qatar, Turki, Kuwait, Uni Emirat Arab, Irak, Suriah, Bahrain dan Oman.

Akan tetapi, negara-negara Arab itu tidak mau mengikuti kemauan Amerika Serikat untuk mengutuk dan mengisolasi Rusia. Bahkan Arab Saudi diberitakan telah mengimpor minyak mentah dari Rusia dalam jumlah besar.

Pada saat Biden melakukan lawatan 6 hari di Timur Tengah, ia menegaskan bahwa Amerika Serikat akan tetap berada di Timur Tengah, tidak akan menarik pasukannya dari Timur Tengah. Pernyataan itu, diduga sebagai respon atas desakan Iran yang meminta negara-negara Muslim di Timur Tengah supaya mengusir tentara Amerika Serikat dari Timur Tengah.

Penyebab Ketegangan

Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat, isu yang selalu dikumandangkan ke seluruh dunia adalah Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, pada saat Joe Biden bertemu dengan MBS, dia mempersoalkan pembunuhan Jamal Khashogi yang menurut laporan intelijen Amerika Serikat bahwa MBS berlibat dalam pembunuhan tersebut.

Dalam pertemuan Biden dengan MBS di Jeddah Jumat lalu (15/7), Biden blak-blakan menuduh MBS bertanggung jawab atas pembunuhan Khashoggi di kantor konsulat Saudi di Istanbul, Turki, pada Oktober 2018.

MBS mengatakan kepada Biden, pembunuhan Khashoggi merupakan bagian yang menyakitkan dalam sejarah perjalanan Saudi. Menurut putra Raja Salman itu, para pelaku telah diproses hukum di pengadilan dan dipenjara. Saudi menyebut pembunuhan itu sebagai operasi intelijen yang nakal.

MBS menolak untuk bertanggungjawab karena menurutnya dilakukan para intelijen nakal yang melampaui batas dan para pelakunya sudah dihukum sesuai hukum yang berlaku di Arab Saudi.

Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed Bin Salman (MBS) membalas pernyataan Joe Biden saat dirinya disinggung soal pembunuhan jurnalis The Washington Post Jamal Khashogi. MBS mengatakan kepada Biden, AS juga punya kesalahan di masa lalu seperti di Irak, Afganistan bahwa pembunuhan wartawan Shireen Abu Aqla yang dilakukan tentara Israel, Amerika Serikat tidak melakukan apa-apa.

Banyak Kritikan Warga Amerika Serikat

Pertemuan antara Biden dengan MBS mendapat banyak kritikan dikalangan warga Amerika Serikat. Ini merupakan kemunduran besar.” Itu dilontarkan Direktur Penelitian wilayah Teluk di Democracy for the Arab World Now (DAWN) University of Pittsburgh Abdullah Alaoudh merespon terkait pertemuan Presiden AS Joe Biden dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS). Biden dinilai gagal menegakkan HAM dan demokrasi.

Kritikan bermunculan sejak awal pertemuan. Foto-foto Biden yang senyum sambil salam mengepalkan tangan dengan MBS Jumat (15/7) memicu hujatan di Amerika Serikat. Bagi penduduk AS, seharusnya Biden tidak seramah itu kepada MBS. Selama ini MBS dituding sebagai dalang utama pembunuhan jurnalis dan kontributor The Washington Post Jamal Khashoggi.

Kristin Diwan dari Arab Gulf States Institute di Washington seperti dikutip Agence France-Presse, Minggu (17/7) mengatakan ”salam antara Presiden Biden dan MBS itu menyakitkan. Ia adalah representasi visual dari ketidakmampuan kami untuk mencapai akuntabilitas.”

Dilansir CNN, MBS membantah bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi di Kedutaan Besar Arab Saudi di Istanbul, Turki, itu pada 2018. MBS merespon Biden ketika membahas masalah pembunuhan Khashogi dengan menyerang balik. Ia menegaskan bahwa AS juga membuat kesalahan yang tak kalah memalukan. Yaitu, penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap para tahanan di penjara Abu Ghraib, Iraq, pada 2003. Bukti-bukti dan pengakuan para mantan narapidana di penjara tersebut memang sempat mencoreng wajah AS.

Serangan balik MBS tidak cukup sampai di situ, ia juga menyinggung pembunuhan jurnalis Shireen Abu Akla oleh tentara Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat, Palestina. Dalam penyelidikan diketahui, peluru itu berasal dari tentara Israel. Amerika Serikat sebagai sekutu Israel dekat di Timur Tengah, hanya berani menyatakan bahwa tentara Israel mungkin tidak sengaja menembak Abu Akla. Padahal, jelas-jelas saat kejadian, jurnalis senior itu memakai rompi dan helm bertulisan Press.

Banyak pihak menganggap kunjungan Biden tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Arab Saudi menjanjikan akan meningkatkan produksi minyaknya hingga 13 juta barel per hari, tetapi akan diwujudkan baru pada 2027.

Kekuatan Politik Timur Tengah Akan Melebihi Amerika?

Di masa lalu, posisi Amerika Serikat di Timur Tengah sangat powerful (kuat). Apa yang diinginkan oleh Amerika Serikat selalu disetujui karena hegemoninya yang luar biasa.

Dalam realitas politik, sangat jarang dan bahkan tidak pernah kedengaran ada pemimpin di Timur Tengah yang berani kritik Presiden Amerika Serikat yang dipublikasikan secara luas di media. MBS berani menyampaikan kritik balik ke Biden, Presiden Amerika Serikat yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Nampaknya, dunia sedang berubah dengan sangat cepat. Geopolitik sedang berubah khususnya di Timur Tengah. Kekuatan politik Timur Tengah tidak lagi sepenuhnya di dominasi oleh Amerika Serikat, tetapi sudah masuk kekuatan Rusia dan China di Timur Tengah melalui aliansi Rusia, China dan Iran.

MBS, pemimpin defacto di Arab Saudi merespon perkembangan politik di Timur Tengah dengan membangun aliansi strategis dengan Rusia dan China, sehingga tidak lagi sepenuhnya berkiblat ke Amerika Serikat. Dampak dari politik tiga kali yang dijalankan MBS yaitu mempertahankan aliansi dengan Amerika Serikat, dan membangun aliansi baru dengan Rusia dan China, membuat MBS bisa tegas dan berani mengatakan bahwa Amerika Serikat juga banyak berbuat dosa di Timur Tengah.

Baca Juga

Opini

Saya ingin Ridho, Prananda dan terutama AHY yang merupakan anak dari presiden RI ke-6, mulai menempa diri dan menjadi standar pemimpin untuk generasi muda....

Pemilu

PKS bersama Anies perlu memiliki strategi yang matang dan inovatif guna memenangkan Pemilu legislatif dan pemilu Presiden 2024 serta mempertahankan eksistensi Partai Keadilan Sejahtera...

Opini

Sebagai terobosan untuk memberi kepedulian dan keadilan kepada warga Tanah Merah, Plumpang, Jakarta Utara, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)...

Lainnya

Mantan aktivis, tokoh independen seperti Anies Baswedan dan pemimpin ormas besar di Indonesia berpeluang untuk memimpin bangsa menjadi calon presiden, calon wakil presiden, calon anggota...

Malaysia

Dato' Seri Haji Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, walaupun belum lama menjadi perdana menteri, tetapi pembelaannya terhadap dunia Islam sangat nyata dan luar biasa.

Opini

Anies Baswedan Formula yang harus diwujudkan di masa depan pada era Indonesia emas 2045.

Malaysia

Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim pada Kamis, 19 Januari 2023, di Putra Jaya, Malaysia menyampaikan pidato yang bertema Membangun Malaysia Madani.

Malaysia

Datuk Seri Anwar Ibrahim sebagai Perdana Menteri dan Menteri Kewangan (Keuangan), menghadapi cabaran (tantangan) yang berat dalam bidang ekonomi untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan.