Beberapa waktu lalu setelah olahraga jalan kaki di Gelora Bung Karno (GBK), saya bertemu para tokoh di sebuah warung sederhana sebelah barat GBK, tempat biasa nongkrong setelah olahraga sambil berbincang dan ngopi.
Berbagai macam topik yang sering diperbincangkan. Mulai dari perbincangan nostalgia sewaktu bekerja sampai masalah ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.
Pada saat saya bergabung dengan para tokoh yang sudah pensiun dan kelihatan mapan secara ekonomi, saya mendengar perbincangan seorang mantan duta besar RI di Prancis yang menceritakan tentang ekonomi Turki yang sudah lazim mengalami inflasi tinggi, tapi rakyat tetap tenang menjalankan bisnis mereka dan tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti lazim terjadi di Indonesia dan negara lain.
Sebagai orang yang tidak mendalami bidang ekonomi, saya mencoba memahami secara sosiologis apa yang dilakukan Presiden Erdogan untuk menyelamatkan rakyat dari masalah ekonomi.
Inflasi Turki Tembus 83,45 Persen, Kembali Pecahkan Rekor https://t.co/DOG7v4u8rh
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) October 3, 2022
Suku Bunga Rendah
Inflasi ditandai dengan naiknya harga berbagai macam barang. Barang-barang naik harganya diantaranya karena rakyat memiliki daya beli.
Rakyat memiliki daya beli lantaran mempunyai penghasilan yang memadai. Dalam kasus tingginya inflasi di Turki yang mencapai 80 persen, untuk pegawai yang mempunyai penghasilan tetap, jika upah yang diperoleh tidak dinaikkan, maka kehidupan mereka akan sulit.
Di Turki, pemerintahan Erdogan memahami hal itu, sehingga menaikkan upah pegawai yang mendekati tingkat inflasi Turki.
Akan tetapi, satu hal yang patut diacungi jempol terhadap Presiden Erdogan karena keteguhan yang melarang suku bunga tinggi. Beberapa kali, Presiden Erdogan memecat Gubernur Bank Sentral Turki karena menaikkan suku bunga.
Suku bunga rendah, menurut saya lebih menguntungkan dunia bisnis karena banyak yang meminjam uang ke Bank dan ramai pula mengembangkan bisnis. Dampak dari itu, inflasi meningkat sebab berbagai macam keperluan di beli. Dampaknya, ekonomi berputar kencang.
Namun keuntungannya, bisnis berputar dan tidak ada perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut saya yang awam dalam masalah keuangan, keuntungan suku bunga rendah jauh lebih menolong ketimbang suku bunga tinggi.
Maka, walaupun tingkat inflasi Turki 80% pertahun, Presiden Erdogan tidak mau menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi.
Erdogan: Turki tak hadapi krisis energi dan pangan seperti di Barat https://t.co/aeyA51vx2h pic.twitter.com/Jdiha8Rxx8
— Anadolu Agency Indonesia (@AnadoluAgencyID) October 10, 2022
Presiden Turki, Tayyip Erdogan tegaskan Turki tidak akan meningkatkan kadar faedah mereka meskipun hampir kesemua bank-bank pusat di seluruh dunia mengambil langkah tersebut bagi membendung inflasi
Erdogan jelaskan musuh utama beliau adalah kadar faedah pic.twitter.com/cuXDVOSfzu
— Ekonomi Rakyat (@EkonomiRakyatMY) September 30, 2022
Lira Melorot Nilainya
Masalah lain yang dialami Turki ialah melemahnya mata uang lira. Lira Turki jatuh ke rekor terendah terhadap dolar AS pada hari Jumat,23 September 2022. Ini terjadi setelah bank sentral negara itu memangkas suku bunga meskipun inflasi melonjak.
Mata uang Turki ini sempat berada pada angka 18,41 per dolar sebelum akhirnya jatuh kembali ke 18,35 Lura per dolar AS pada perdagangan Jumat ini.
Selain itu, tingkat inflasi Turki terbilang cukup tinggi jika dibandingkan dengan AS. Saat ini tingkat inflasi AS berada pada angka 8%. Sedangkan pada Agustus, inflasi Turki 10 kali lebih tinggi dari AS yakni mencapai 80,2%.
Meski nilai inflasi tinggi, Bank Sentral Turki tak langsung mengambil langkah yang biasanya dilakukan oleh pemangku kebijakan keuangan dunia dengan menaikkan suku bunga. Alih alih menaikkan suku buku untuk menahan laju inflasi, Bank Sentral Truki memilih untuk menurunkan suku bunga sebanyak 100 basis poin.
Presiden Turki Tayyip Erdogan memastikan bank sentral akan terus memangkas suku bunga acuan sepanjang dirinya masih berkuasa. https://t.co/3lf4oTD53p
— Katadata.co.id (@KATADATAcoid) October 9, 2022
Bank Sentral Numpuk Emas Terus, Negara Erdogan Terbanyak https://t.co/47Sm02LREs
— CNBC Indonesia (@cnbcindonesia) October 6, 2022
Erdogan Bisa Bertahan?
Presiden Erdogan, sejatinya mendapat tekanan dari Amerika Serikat dan Barat terutama sikap dalam menghadapi perang antara Rusia versus Ukraina karena tidak mengikuti kesepakatan antara Turki sebagai anggota Nato dengan barat
Erdogan tetap memelihara hubungan baik dengan Rusia, terlebih Ukraina. Bahkan Turki menjual Drone Bayraktar TB2 ke Ukraina. Drone dari Turki menjadi salah satu andalan Ukraina dalam melawan Rusia karena dinyatakan cukup efektif.
Pada saat yang sama, Presiden Erdogan menjalin perdagangan dengan Rusia. Negara itu membeli minyak dari Rusia, sehingga Turki tidak mengalami kelangkaan energi dan pangan di Turki.
Selain itu, Presiden Erdogan menjadi mediator perundingan damai antara Rusia dengan Ukraina. Bahkan Erdogan menjadi perunding untuk meloloskan pangan yang tidak bisa di ekspor ke Eropa karena perang antara Rusia versus Ukraina.
Presiden Erdogan Ajukan Jadi Juru Damai Perang Ukraina https://t.co/lY6eYWTZgm #TempoDunia
— tempo.co (@tempodotco) October 8, 2022
Pakar politik Amerika Latin puji peran mediator Turki dalam perang Rusia-Ukraina https://t.co/3coSLB4rHM pic.twitter.com/azgTHWeL2K
— Anadolu Agency Indonesia (@AnadoluAgencyID) October 10, 2022
Turki Meraup Keuntungan
Inflasi tinggi dan Lira yang melorot nilainya terhadap mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat, sejauh ini tidak ada berita yang menunjukkan ekonomi Turki amblas.
Justru dalam keadaan semacam itu, Turki mendapatkan keuntungan. Pertama, akibat konflik Rusia versus Ukraina, banyak warga Rusia yang kaya, begitu pula Ukraina yang mengungsi dan tinggal di Turki.
Kedua, krisis energi di Eropa, apalagi menghadapi musim dingin, banyak warga Eropa yang datang ke Turki untuk berlibur dan tinggal sementara, karena dianggap murah akibat melorotnya nilai mata uang Lira.
Ketiga, negara-negara di Timur Tengah, banyak warganya memilih libur di Turki. Selain itu, sebelum Indonesia dilanda pandemi Covid-19, banyak sekali jamaah umrah dari Indonesia yang ke Turki sebelum Umrah, begitu pula sebaliknya, sesudah umrah mampir ke Turki.
Dengan demikian, inflasi tinggi dengan suku murah yang diberlakukan di Turki, yang tidak diamalkan oleh Amerika Serikat, negara-negara barat termasuk Indonesia, ekonomi Turki justru bisa bertahan, tetap survive dan maju. Selain itu, bisnis rakyat Turki tetap jalan. Tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mata uang Lira Turki anjlok parah melawan Dollar Amerika Serikat. Namun, fenomena ini malah membuat wisatawan senang karena liburan mereka jadi lebih murah. https://t.co/cnRuDr9KQH
— detikcom (@detikcom) October 5, 2022
Turis di Turki bak tertimpa rezeki nomplok karena mata uang lira anjlok parah melawan dollar Amerika Serikat. Fenomena ini bikin liburan mereka lebih murah. https://t.co/M32kG0JAIN
— detikcom (@detikcom) October 6, 2022

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
