Partai politik adalah pilar demokrasi. Dapat dikatakan tidak ada demokrasi tanpa partai politik.
Oleh karena itu, partai politik harus dijaga, dirawat dan dikembangkan agar menjadi instrumen perjuangan untuk mewujudkan tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan tujuan Indonesia merdeka, partai politik sebagai alat perjuangan harus sehat, mandiri, kokoh dan bersatu. Setiap partai politik memiliki cita-cita mulia untuk merealisasikan tujuan Indonesia merdeka.
Namun dalam pelaksanaannya, tidak jarang melenceng dari tujuan karena banyak faktor diantaranya kurang tepat memilih kader untuk dicalonkan menjadi pemimpin bangsa dan negara.
Oleh karena itu, kita setuju pernyataan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu supaya jangan sembrono memilih calon Presiden.
Jangan Pilih Calon Presiden Sembrono: Anies Punya Rekam Jejak Hebat, Partai Yang Mendukung Akan Makin Populer – https://t.co/ilcbK2iiob
— Musni Umar (@musniumar) October 25, 2022
MK putuskan Menteri tidak perlu Mundur dari jabatannya asal mendapat izin Presiden. Publik kritik keras MK yg tidak hadirkan equality before the law. Sila baca analisis saya. Selamat membaca. https://t.co/qZ8VzESE70
— Musni Umar (@musniumar) November 3, 2022
Pelajaran dari Partai Demokrat & PPP
Kita bersyukur, partai Demokrat selamat dari upaya pengambilalihan. Peristiwa pengambil-alihan partai Demokrat melalui “Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sibolangit Deli Serdang” yang direkayasa, merupakan pelajaran yang sangat berharga.
Dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat tandingan di Deli Serdang, 5 Maret 2021, Moeldoko dipilih sebagai ketua umum. Namun, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tidak mengesahkan kepemimpinan Partai Demokrat versi Moeldoko.
Buntutnya, Partai Demokrat melakukan pemecatan pada sejumlah kader yang terlibat pada gerakan itu seperti Johni Allen Marbun, Marzuki Alie, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Darmizal, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya.
Pihak Moeldoko Kemudian membawa kasus tersebut ke ranah hukum sampai di Mahkamah Agung, tetapi dalam vonis di Mahkamah Agung, yang dimenangkan adalah Partai Demokrat dengan ketua umum Agus Harimurti Yudhoyono.
AHY menunjuk Ongku Hasibuan sebagai anggota DPR dari Fraksi Demokrat di DPR, menggantikan Jhoni Allen Marbun yang diberhentikan secara tidak hormat karena dinilai terbukti menjadi pelaku kudeta di Partai Demokrat. #TempoNasional https://t.co/knEugWT0HM
— tempo.co (@tempodotco) September 15, 2022
Pelajaran lain, dari Partai Persatuan Pembangunan. Partai berlambang Ka’bah berganti kepemimpinan di tahun politik. Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dilengserkan. Padahal dia dipilih dalam Muktamar PPP. Sebelum dilengserkan, didera kontroversi pidato ‘amplop kiai’.
Pernyataannya di KPK itu dianggap merendahkan kiai dan pondok pesantren. Tak lama, Suharso meminta maaf. Meski demikian, badai belum berlalu, 3 pimpinan Majelis PPP meminta Suharso mengundurkan diri melalui 3 surat, terakhir dikeluarkan pada 30 Agustus 2022.
Puncaknya terjadi pada Minggu (4/9). Majelis PPP bersama pengurus DPW PPP menggelar Musyawarah Kerja Nasional atau Mukernas di Banten dengan keputusan memberhentikan Suharso Monoarfa dari posisi ketua umum.
Curhatan Suharso Monoarfa pada Dahlan Iskan Usai Adanya Kudeta oleh Internal PPP: Pengesahan Itu Membuat Posisi Saya Sulit https://t.co/wUX8PlkVaU
— Warta Ekonomi (@WartaEkonomi) September 12, 2022
Peristiwa yang dialami Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, tidak tertutup kemungkinan dialami semua partai politik termasuk PDIP. Hanya Partai Demokrat dengan ketua umum Agus Harimurti Yudhoyono, gagal ditumbangkan karena dalam proses di pengadilan sampai di Mahkamah Agung, mereka bisa yakinkan hakim bahwa Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang adalah abal-abal.
Faktor yang sangat menolong Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono karena hasil Kongres Luar Biasa di Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara tidak disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly.
Sekali lagi kasus yang dialami Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan bisa dialami PDIP, terutama pada saat ketua umum PDIP misalnya sakit atau karena faktor umur, pihak eksternal berkolaborasi pihak internal untuk mengambil alih kepemimpinan PDIP.
Mengapa? Jawabannya sederhana bahwa dalam politik ada ungkapan “Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.
Bambang Pacul Yakin Jokowi Tahu Balas Budi: Mustahil Kudeta Megawati https://t.co/M5T01Eoh6S
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) November 3, 2022
Kata Hasto PDIP, isu kudeta kursi kepemimpinan Megawati Soekarnoputri oleh Jokowi hanyalah ulah provokator politik. #TempoNasional https://t.co/gOYz2M31Lv
— tempo.co (@tempodotco) November 4, 2022
Mayoritas ketua umum partai politik pemilik kursi DPR telah berusia di atas 50 tahun. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri pun menjadi yang tertua. https://t.co/E5dGQKC7mJ #Infografis #CNNIndonesia pic.twitter.com/dSONp2xzry
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) November 3, 2022
Oleh karena itu, doa seorang relawan yang mohon kepada Tuhan agar PDIP dipimpin di luar trah “Bung Karno” bisa menjadi kenyataan seperti yang dialami Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangun.
Saya berharap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin Ibu Megawati Sukarnoputri tidak mengalami nasib seperti yang dialami Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan. Lebih elegan dan terhormat mendirikan partai politik baru daripada mengambil alih partai politik orang lain.
Presiden Jokowi Bisa Saja ‘Kerjai’ Megawati Hingga Isu Kudeta Terwujud, Rocky Gerung: Dia Masih Pegang Kekuasaan Sampai 2024! https://t.co/2IkBlsRBYr
— Warta Ekonomi (@WartaEkonomi) November 4, 2022

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
