Wacana penundaan Pemilu dan penambahan masa jabatan Presiden menjadi perbincangan publik yang sangat ramai. Pemicu maraknya wacana tersebut adalah pernyataan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi oleh dua pemimpin lembaga tinggi negara.
Sejatinya mereka yang melontarkan pernyataan karena memimpin lembaga tinggi negara, menasihati Presiden supaya taat konstitusi karena sudah jelas dan terang benderang ketentuan pasal 7 UUD 1945 secara tegas berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan’. Artinya, masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal hanya diperbolehkan dua periode.
Sebagai pemimpin lembaga tinggi negara bukan merespon hasil survei sebuah lembaga survei yang merilis bahwa tingkat kepuasan publik terhadap Presiden dan Wakil Presiden sangat tinggi lalu meminta rakyat berpikir, apa tidak sebaiknya diperpanjang masa jabatannya. Sekedar mengingatkan kembali, lembaga survei sekarang bisa dibeli, begitu kata Mahfud MD, Menko Polhukam RI.
Sama juga halnya tidak elok, pemimpin lembaga tinggi negara, membuat pernyataan “tunda pemilu” untuk memancing amarah publik.
Menurut saya tidak tepat, seorang pemimpin lembaga tinggi negara membuat pernyataan sebagai pancingan dengan isu “tunda pemilu.” Ada pernyataan tunda pemilu atau tidak, mayoritas rakyat tidak setuju tunda pemilu apalagi perpanjangan masa jabatan presiden. Justru dengan pernyataan tunda pemilu, rakyat menyebut yang membuat pernyataan sebagai “pengkhianat konstitusi” atau “pembegal konstitusi.”
Sebaiknya para pemimpin lembaga tinggi negara, secara berkala melakukan konsultasi termasuk dengan presiden sebagai pemimpin eksekutif untuk berdiskusi tentang masalah bangsa dan negara seperti isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang menyalahi konstitusi.
Para pemimpin di lembaga legislatif harus berani menyampaikan kepada presiden bahwa menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan presiden melawan konstitusi dan akan menghadirkan perlawanan dari rakyat.
Cara seperti ini, lebih bijaksana dan tidak membuat gaduh di masyarakat. Walaupun dalam negara demokrasi seperti Indonesia sulit dicegah tidak adanya “kegaduhan,” tetapi yang membuat gaduh biarlah rakyat, jangan mereka yang sedang berkuasa.
Sama juga halnya dengan pernyataan sebelumnya, para pemimpin partai politik dan menteri, mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Mengapa tidak belajar dari sejarah? Di era Orde Lama, Presiden Soekarno dipilih oleh MPR RI sebagai Presiden seumur hidup. Di era Orde Baru, ramai yang membuat kebulatan tekad untuk mendukung Presiden Soeharto, mengapa sekarang diulangi yang bakal mencelakakan Presiden Jokowi dan merusak demokrasi kita?
Mengenai penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode, jauh sebelum ramai perbincangan di media sosial seperti sekarang, saya sudah mendapat informasi A 1, adanya upaya memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi 3 periode.
Atas informasi yang saya peroleh, saya berusaha bertemu Pak JK. Ketika bertemu beliau di rumahnya, saya menyampaikan informasi tersebut. Beliau meyakinkan hal itu, tidak mungkin karena rakyat akan protes dan tidak mudah sebab harus mengubah UUD 1945, dan itu tidak mudah menurut Pak JK.
Sejarah Sidang PPKI 18 Agustus, Sahkan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara RI https://t.co/iF2L84HbZQ
— Pikiran Rakyat (@pikiran_rakyat) August 18, 2022
Undang-Undang Dasar kembali ke UUD 1945 dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Berikut latar belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959. https://t.co/HYlrxPQJOP
— detikcom (@detikcom) September 28, 2022
1. Tahukah sahabat, tepat hari ini 61 tahun lalu, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pada upacara resmi di Istana Merdeka, Jakarta?#ArsipHariIni menampilkan foto Presiden Sukarno saat membacakan Dekrit Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, 5 Juli 1959. pic.twitter.com/cx1WGleBdp
— Arsip Nasional RI (@ArsipNasionalRI) July 5, 2020
Raja dan Sultan se-Nusantara Deklarasikan Komitmen Kebangsaan https://t.co/lliR70iC66
— Jawa Pos (@jawapos) December 12, 2022
Dukung Dan Tolak Tiga Periode
Dukungan tiga periode, tidak saja dikemukakan para pemimpin lembaga tinggi negara sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga para relawan Jokowi dalam acara di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) yang dihadiri Presiden Jokowi dengan tema “Nusantara Bersatu.” pada 26 November 2022.
Dalam acara tersebut tersebar berbagai pernyataan yang pada intinya menginginkan Presiden Jokowi melanjutkan pengabdian tiga periode.
Keinginan oligarki dan mereka yang sedang berkuasa supaya Presiden Jokowi melanjutkan pengabdiannya satu periode lagi, bukan isapan jempol, tetapi nyata sampai saat ini.
Berkaitan dengan masalah tersebut, sangat menarik pernyataan Masinton Pasaribu, Anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bahwa ada tiga skenario yang dilancarkan para oligarki. Plan A, Jokowi 3 periode. Plan B, Tunda Pemilu, dan Plan C, dukung calon presiden boneka.
Plan A, masih terus diperjuangkan, walaupun penolakan publik sangat keras. Pada saat yang sama, dimainkan pula plan B, tunda pemilu.
Berbagai pernyataan para relawan Jokowi dan mereka yang sedang berkuasa, terus disuarakan Jokowi 3 periode dan tunda pemilu. Kalau tunda pemilu, maka otomatis para oligarki ekonomi dan oligarki politik aman di posisi masing-masing.
Akan tetapi, jika penolakan publik sangat keras terhadap Jokowi 3 periode dan tunda pemilu tidak bisa diwujudkan, maka akan diusung calon presiden boneka.
Dalam hubungan itu, muncul dugaan bahwa pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) adalah untuk menyiapkan partai politik untuk menjadi kendaraan bagi calon presiden boneka.
Dugaan tersebut sangat kuat, karena tiga ketua umum partai politik, diduga memiliki masalah hukum sehingga dengan mudah “dipaksa” untuk mengikuti kemauan oligarki politik dan oligarki ekonomi dengan mendeklarasikan berdirinya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Jangan lupa sejarah kenapa kita membatasi masa jabatan presiden saat amendemen pertama UUD 1945, tahun 1999. Awalnya pertimbangan sosok baik jd alasan utk terus melanggengkan seseorang berkuasa. Lama-lama kroni menggurita, anak cucu pun ikut berkuasa. Akhirnya berujung diktator. https://t.co/TfXzVHqbP0
— Titi Anggraini (@titianggraini) June 21, 2021
Rabu, (12/07), telah berlangsung sidang proses dismissal terkait gugatan PJ Kepala Daerah di PTUN Jakarta.https://t.co/Rv5AzdmIAA #BatalkanPJKepalaDaerah#BatalkanPJGubernur#KeadilanUntukSemua
— LBH JAKARTA (@LBH_Jakarta) December 8, 2022
Cucu Bung Hatta Gugat Jokowi dan Tito soal 88 Pj Kepala Daerah https://t.co/W50S9Xu3YN
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) December 2, 2022
PJ Kepala Daerah
Pemilu serentak yaitu pemilu presiden dan pemilu legislatif, kemudian pemilihan kepala daerah serentak, terpaksa tidak dilakukan pemilihan kepala daerah.
Konsekuensinya, dilakukan pengangkatan kepala daerah yang disebut Pj (Pejabat). Masa tugas mereka cukup lama seperti DKI Jakarta bisa menjabat selama 2 tahun.
Akan tetapi, kedudukan hukum Pj Kepala Daerah sangat lemah. Menurut pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Dengan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka jika konsisten berpegang teguh pada ketentuan tersebut di atas, maka Pj Gubernur, Pj Bupati dan PJ Walikota tidak sah. Kalau hanya sifatnya sementara misalnya hanya satu atau dua bulan masih bisa dipahami, tetapi masa menjabat sebagai Pj Kepala Daerah cukup lama.
Pj. Kepala Daerah dengan kewenangan yang sangat besar seperti kewenangan Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat di daerahnya, sangat sulit dipahami karena tidak memiliki legalitas hukum dan legalitas sosiologis apalagi legalitas demokrasi.
Dalam situasi seperti ini, penguasa politik memanfaatkan proses pemilihan kepala daerah yang tertutup dan tidak transparan, diduga sarat dengan permainan uang dan kepentingan politik dalam pemilu 2024.
Oleh karena itu, sinyalemen Masinton Pasaribu, anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), di duga keras jika skenario pertama dan kedua gagal diwujudkan yaitu Jokowi 3 periode dan tunda pemilu, maka diduga para Pejabat Kepala Daerah akan berperan dalam memuluskan skenario ketiga yaitu menggolkan presiden boneka yang didukung oligarki ekonomi dan politik.
Untuk mencegah tiga skenario terwujud, maka masyarakat madani khususnya para akademisi dan mahasiswa harus berperan besar dalam mencerahkan, menyadarkan dan membuat rakyat insaf dan bangkit. Kebangkitan rakyat merupakan keniscayaan untuk keselamatan bangsa dan negara hari ini dan di masa depan.

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
