Peranan partai politik di era Orde Reformasi luar biasa besar, karena hanya partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden serta pasangan kepala daerah.
Akan tetapi adanya presidential threshold 20%, maka ketua umum partai politik yang ingin menjadi calon presiden atau calon wakil presiden “mati gaya.”
Mengapa? Karena dalam sistem pemilu serentak, setiap partai politik ingin ketua umumnya menjadi calon presiden atau calon wakil presiden agar bisa mendorong peningkatan elektabiltas partainya.
Namun kendalanya untuk pemilu 2024, hanya PDIP yang bisa sendiri mencalonkan kadernya tanpa harus berkoalisi dengan partai lain, sebab PDIP perolehan kursi di DPR RI telah melampaui presidential threshold 20% yang ditetapkan oleh UU Pemilu.
PT 20% tlh mengkerangkeng ketum parpol utk jadi capres, cawapres. Hny PDIP yg bs capreskan Megawati atau yg dikhndaki. Selain itu, hrs berkoalisi. Mslhnya, tiap Ketum mau capres atau cawapres agar partainya mnngkt elektbltsnya. Prabowo bs ggl capres …https://t.co/GD0ejBf8OD
— Musni Umar (@musniumar) February 12, 2023
Muncul wacana KIB dengan KKIR. Pengamat politik menyebut koalisi itu lebih sulit menentukan capres dibandingkan koalisi NasDem. https://t.co/ejUqkgakcs
— detikcom (@detikcom) February 12, 2023
Anies Baswedan Formula Calon Presiden
Melihat tantangan bangsa dan negara yang sangat kompleks di dalam negeri maupun di luar negeri, maka pemimpin Indonesia sangat tidak layak jika dipilih “pemimpin cangkokan.” Akan tetapi, calon pemimpin yang membantu negara pada saat susah seperti ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19.
Selain itu, pemimpin yang lahir dari “pencitraan” berlebihan di media sosial, media cetak maupun media elektronik, juga tidak layak. Pemimpin Indonesia haruslah yang terlatih. Sejak pelajar, siswa dan mahasiswa sudah melatih diri menjadi pemimpin di lingkungannya. Dampaknya, ketika menjadi menteri dan Gubernur bisa dilihat rekam jejaknya yang hebat.
Walaupun menurut konstitusi kita, setiap warga negara Indonesia berhak memilih dan dipilih, tetapi untuk keselamatan dan kemajuan bangsa Indonesia dan negara, sangat penting seorang calon pemimpin Indonesia dipersiapkan sejak diri agar matang dan siap memimpin.
Tantangan yang dihadapi dalam mengamalkan demokrasi semakin tidak mudah, karena sebagian bangsa kita sudah dirasuki sifat materialisme dan pragmatisme, akibat besarnya biaya untuk menjadi anggota parlemen, presiden dan wakil presiden serta kepala daerah.
Pada tataran tersebut, anak-anak rakyat yang bukan anak presiden, bukan pula anak penjabat tinggi dan bukan juga pengusaha kaya atau anak orang kaya, harus berjuang keras melewati barikade untuk menjadi pemimpin.
Menurut saya, calon pemimpin Indonesia harus dipersiapkan sejak dini sejak menjadi pelajar, siswa dan mahasiswa sudah melatih diri menjadi pemimpin dilingkungannya dan dilatih supaya memiliki karakter moral yaitu:
Pertama, beragama yang kuat.
Kedua, berintegritas.
Ketiga, jujur dan toleran terhadap sesama.
Keempat, disiplin tinggi.
Kelima, mengamalkan musyawarah – mufakat.
Kelima, adil dan memiliki tekad kuat mewujudkan keadilan sosial.
Keenam, kuat menghadapi tantangan di dalam negeri maupun dari luar negeri serta media terutama media sosial.
Ketujuh, ahli berdiplomasi dan tidak memiliki ego tinggi.
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas perduduk beragama islam terbesar di dunia. Wakil presiden yang sekarang ini Ma’ruf Amin, dulu merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia. Wakil Presiden sebelumnya Jusuf Kalla yang terpilih untuk dua kali masa jabatan Wakil Presiden merupakan Ketua Dewan Masjid Indonesia. Untuk lebih jelas menggambarkan kekuatan massa umat muslim Indonesia contohnya pada 7 Februari 2023 di puncak Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa TImur di perkirakan di hadiri oleh 4 juta orang.
Panitia Taksir 4 Juta Orang Hadiri Puncak Harlah 1 Abad NU https://t.co/gVmK1YdCwA
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) February 8, 2023
Hal ini merupakan suatu petunjuk untuk calon pemimpin Indonesia untuk memiliki dasar agama yang kuat. Jangan pernah bermimpi untuk menjadi calon presiden apabila memiliki jejak digital yang terlihat tidak beragama yang kuat. Raihlah ilmu setinggi langit, berkerja keraslah dengan pintar agar dapat memiliki harta yang halal dan hiduplah dengan dasar agama yang kuat.
Saya pikir, itulah Anies Baswedan Formula yang harus diwujudkan di masa depan pada era Indonesia emas 2045.
Tepat pada 1 abad Nahdlatul Ulama, menyempatkan ziarah ke makam K.H. Zainul Arifin Pohan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Beliau merupakan salah satu penggerak (muharrik) NU awal di Jakarta dan pahlawan bangsa.#1AbadNU pic.twitter.com/IKc218uFPH
— Anies Rasyid Baswedan (@aniesbaswedan) February 8, 2023
Pelajaran dari Myanmar & Malaysia
Calon pemimpin Indonesia harus belajar dari sejarah dan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Paling tidak ada dua negara di Asia Tenggara yang pernah dan sedang mengalami masalah politik. Semoga Indonesia tidak mengalami seperti yang dialami Myanmar dan Malaysia.
Pertama, Myanmar. Negara ini mengalami kemerosotan akibat 1 Februari 2021, militer Myanmar melakukan kudeta dengan menggulingkan pemimpin de facto Miyanmar, Aung San Suu Kyi dan presiden Win Myint.
Tidak saja menggulingkan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan presiden Win Myint yang merupakan pemimpin hasil pemilihan umum yang demokratis, tetapi juga memenjarakan mereka dan beberapa pimpinan dari partai penguasa.
Pasca sukses kudeta militer, kekuasaan dipegang oleh panglima tertinggi militer, Min Aung Hlaing dan negara dinyatakan keadaan darurat.
Alasan militer mengambil alih kendali kekuasaan negara, karena menganggap pemilu yang dilaksanakan di Miyanmar pada November 2020 penuh dengan kecurangan.
Pada hal dalam lima tahun terakhir saat beralih kekuasaan dari junta militer kepada pemerintahan sipil melalui pemilu yang demokratis, Myanmar mendapat banyak sokongan dan pujian dari dunia internasional dalam memperkuat proses transisi demokrasi yang belum lama dibangun.
Selain itu, di dalam negeri Miyanmar, mayoritas masyarakat memberi respon positif terhadap pemerintahan sipil dan menolak pemerintahan militer. Artinya, aspirasi masyarakat di Myanmar ingin mempertahankan demokrasi.
Peristiwa tragis di Miyanmar (Burma) bisa terjadi di Indonesia kalau pemilu dilaksanakan tidak jujur dan atau kekuasaan presiden Jokowi diperpanjang dengan melawan konstitusi. Rakyat bersama Tentara tidak tertutup kemungkinan mengambil alih kekuasaan. Ini harus dicegah dengan melaksanakan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil (jurdil).
Fokus pemerintah Myanmar berbalik menjadi memerangi pejuang anti-kudeta di seluruh negeri. https://t.co/JA9RcvEF27
— Kompas.com (@kompascom) February 2, 2023
Pemilu 14-15 PRU14-PRU15 di Malaysia
Pemilihan umum di sebut di Malaysia Pilihan Raya Umum dengan akronim PRU ke-14 tahun 2018, menghasilkan kemenangan bagi Pakatan harapan (PH) yang selama ini beroposisi.
Koalisi Pakatan Harapan memenangkan mayoritas sederhana kursi di Dewan Rakyat (parlemen Malaysia), dengan 113 kursi, tambahan dari Partai Warisan Sabah yang memenangkan 8 kursi, dan dua kandidat independen, sehingga secara keseluruhan Pakatan Harapan, menghasilkan total 123 kursi.
Dengan demikian, Hasil Pemilu 2018 di Malaysia, Pakatan Harapan (PH) dapat membentuk pemerintahan baru.
Akan tetapi, Anwar Ibrahim, pemimpin de facto Pakatan harapan dan Presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR) masih dalam penjara, sehingga disepakati memilih Tun Mahathir Mohamad menjadi Perdana Menteri Malaysia dengan perjanjian setelah memimpin 2,5 tahun akan digantikan Anwar Ibrahim.
Namun, Mahathir Mohamad nampak tidak mau melepaskan kedudukannya sebagai PM Malaysia. Begitu pula, beberapa anggota parlemen dari PKR dan Partai Bersatu tidak mau kalau Anwar Ibrahim menjadi PM. Akibatnya mereka keluar dari Koalisi Pakatan Harapan, PKR dan Partai Bersatu.
Dampak dari itu, pemerintahan Mahathir Mohamad jatuh karena tidak lagi disokong mayoritas sederhana oleh Dewan rakyat (Parlemen Malaysia).
Dengan jatuhnya pemerintahan Mahathir Mohamad, maka di bentuk Koalisi Perikatan Nasional (PN) dengan menggandeng UMNO dan PAS, kemudian memilih Muhyiddin Yassin sebagai Perdana Menteri Malaysia.
Akan tetapi, Koalisi ini sangat lemah karena tidak disokong mayoritas sederhana oleh Dewan Rakyat (Parlemen Malaysia). Akhirnya pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin jatuh, lalu digantikan oleh Ismail Shabri dari partai UMNO sebagai Perdana Menteri Malaysia.
Masa pemerintahan Ismail Shabri tidak dapat bertahan lama karena minimnya dukungan parlemen, sehingga atas persetujuan Raja Malaysia, pemilu dipercepat.
Hasil pemilu (PRU) ke-15, Pakatan harapan menang, namun hanya meraih dukungan kursi di Dewan rakyat (Parlemen) Malaysia sebanyak 82 kursi, sehingga tidak dapat membentuk pemerintahan baru.
Raja Malaysia setelah berkonsultasi dengan para pemimpin partai politik, dia kemudian meminta kepada Muhyiddin Yassin, pemimpin Perikatan Nasional untuk berkoalisi dengan Anwar Ibrahim, pemimpin Pakatan Harapan (PH) untuk membentuk pemerintahan baru, namun Muhyiddin Yassin menolak.
Atas penolakan itu, Raja Malaysia meminta kepada Ahmad Zahid Hamidi, presiden UMNO untuk menyertai Pakatan harapan membentuk pemerintahan baru. Presiden UMNO bersetuju, kemudian diikuti Partai Warisan Sabah dan lainnya, sehingga dibentuk pemerintahan perpaduan dengan Perdana Menteri Datuk Seri Anwar Ibrahim.
Walaupun sistem politik di Malaysia berbeda dengan Indonesia, tetapi di awal Orde Reformasi, Indonesia pernah mengalami krisis politik dan kepemimpinan. Setelah Soeharto berhenti sebagai presiden, digantikan oleh BJ Habibie lalu pemilu dan pemilihan presiden dan terpilih KH Abdurrahman Wahid kemudian dilengserkan dan naik Megawati Soekarnoputri menjadi presiden.
Dimasa Orde Lama, presiden Soekarno yang dilantik oleh MPRS sebagai presiden seumur hidup, dilengserkan secara tidak terhormat melalui demonstrasi mahasiswa.
Begitu juga presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, dilengserkan secara tidak terhormat melalui demonstrasi mahasiswa.
Sejarah bisa terulang kembali, jika kita tidak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa di masa lalu.
Kekacauan seperti pernah terjadi di masa lalu, bisa terulang kembali, karena itu sebaiknya kita bersiap untuk menyelenggarakan Pemilu 2024 dengan lancar dan siap memiliki pemimpin baru sesuai konstitusi kita.
Relawan Anies tumbuh laksana jamur di musim hujan. Warga berbondong-bondong dirikan relawan Anies. Relawan Anies yg pada umumnya non partisipan suka tdk suka mau tdk mau hrs kampanyekan Anies dan parpol pendukung Anies.
Mengapa? Sila baca alasannyahttps://t.co/wm9Jn2kr6b— Musni Umar (@musniumar) February 7, 2023

Musni Umar adalah Sosiolog dan Warga DKI Jakarta.
