Connect with us

Webinar bersama Sahabat Peradaban Bangsa (SPB) FHUI (18/3/2023)

Pendidikan

Webinar: Sekitar Permasalahan Moderasi Beragama Dalam Bingkai Pancasila, Bersama Sahabat Peradaban Bangsa (SPB) FHUI

Pada 18 Maret 2023, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB) menyelenggarakan webinar dengan tema Sekitar Permasalahan Moderasi Beragama Dalam Bingkai Pancasila, dengan keynote speech Neneng Djubaedah, SH., MH., Ph.D., narasumber Dr. Aan Rohanah, Lc., MA., Prof Dr Musni Umar, SH., M.Si., Ph.D., Prof Dr Muzakkir, SH., MH., dengan moderator Ibu Diana Widyasari, ST., M.M.,

Pada 18 Maret 2023, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB) menyelenggarakan webinar dengan tema “Sekitar Permasalahan Moderasi Beragama Dalam Bingkai Pancasila., dengan keynote speech Neneng Djubaedah, SH., MH., Ph.D., narasumber Dr. Aan Rohanah, Lc., MA., Prof Dr Musni Umar, SH., M.Si., Ph.D., Prof Dr Muzakkir, SH., MH., dengan moderator Ibu Diana Widyasari, ST., M.M.,

Moderasi Beragama Suatu Konsep Yang Keliru: Harus Diperbaiki

Saya memulai dengan membahas makna “moderasi.” Menurut Kamus Bebas bahasa Indonesia (KBBI) bahwa sinonim dari moderasi ialah 1) pengurangan kekerasan. 2) penghindaran keekstriman.

Adapun lawan kata dari moderasi ialah ekstrim. Sedangkan makna dari ekstrim: 1) berlebihan, drastis, eksesif, lewat batas, melampaui, musykil, supernatural; 2) fanatik, keterlaluan, radikal, reaksioner, revolusioner, ultra.

“Moderasi Beragama” adalah sebuah cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan ajaran agama agar dalam melaksanakannya selalu dalam jalur yang moderat.

Adapun pengertian dari Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, dan membantu terhadap kelompok-kelompok atau individu dalam hubungan sosial.

Kondisi Kehidupan Beragama di Indonesia

Indonesia merupakan sebuah negara yang penduduknya majemuk (heterogen). Penduduknya menganut berbagai macam agama, tetapi kita patut bersyukur karena penduduk Indonesia mayoritas Muslim.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk muslim di Indonesia sebanyak 237,53 juta jiwa per 31 Desember 2021. Jumlah itu setara dengan 86,9% dari populasi Indonesia yang mencapai 273,32 juta orang (Sumber: dataindonesia.id)

Menurut BPS (hasil Sensus 2010) Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, tepatnya 1.340 suku bangsa di tanah air Indonesia. Suku Jawa adalah kelompok terbesar dengan jumlah yang mencapai 41% dari total populasi.

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam merupakan pemersatu bangsa Indonesia dan tanah air Indonesia.

Dalam kehidupan sosial, sangat tinggi tingkat toleransinya bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang majemuk (heterogen), tidak sepi dari konflik, tetapi konflik besar tidak ada yang bersumber dari agama dan semua konflik bisa didamaikan.

Dalam sejarah, pada awal reformasi pernah terjadi konflik antara umat beragama di Maluku yang kemudian di framing sebagai konflik agama. Dalam realitas, bukan konflik agama sebab pemicunya bukan faktor agama, tetapi faktor kekuasaan politik dan ekonomi.

Puluhan tahun mereka memegang kekuasaan politik dan ekonomi di Maluku, tetapi berkat pendidikan putra-putri dari kalangan umat Islam mengakibatkan terjadi mobilitas vertikal dalam bidang politik dan ekonomi.

Partai politik yang berdiri di awal Orde Reformasi, mereka masuki dan menjadi pimpinan partai politik. Pemilu 1999 mereka terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Hasil pemilu 1999 mengubah konstelasi politik di daerah itu sehingga mereka marah. Untuk menarik dukungan publik, maka agama dijadikan alat mobilisasi massa, sehingga terjadi konflik yang kemudian disebut konflik agama di Maluku. Sejatinya bukan konflik agama seperti dikemukakan di atas, tetapi konflik kepentingan politik (kekuasaan) dan ekonomi.

Dalam hubungan antar umat beragama, tidak jarang terjadi konflik. Konflik antar umat beragama biasanya bersumber dari
penyebaran agama kepada umat yang sudah beragama dan pendirian rumah ibadah.

Dua masalah tersebut sering menjadi sumber konflik, tetapi semuanya bisa dimediasi dan diselesaikan. Menurut pengamatan saya, di daerah yang didiami mayoritas Muslim, jika di daerah itu terdapat penduduk non Muslim, mau mendirikan rumah ibadah, pada umumnya tidak dihambat. Akan tetapi, yang mendapat tantangan dari masyarakat, jika tidak ada umatnya di suatu tempat, tetapi mau mendirikan rumah ibadah.

Sebaliknya, umat Islam mendapat hambatan luar biasa untuk mendirikan Masjid di suatu daerah atau wiayah, yang agama lain mayoritas. Sebagai contoh di Taman Villa Meruya, Jakarta Barat (Jakbar), umat Islam di Villa yang dihuni mayoritas bukan Muslim, mereka sudah berikhtiar sejak 2018 untuk mendirikan Masjid, baru di era Gubernur Anies Baswedan bisa berhasil membangun Masjid. Mereka berjuang selama 30 tahun untuk memiliki Masjid, baru di era Gubernur Anies bisa terealisir, ujar Ketua Panitia Pembangunan Masjid At Tabayyun, Marah Sakti Siregar.

Keputusan Gubernur Anies Baswedan untuk memberi izin membangun Masjid At Tabayyun di protes dan di bawa ke PTUN untuk dibatalkan. Mereka menghadirkan para pakar dari berbagai universitas terkemuka untuk membatalkan pembangunan Masjid At Tabayyun yang dikeluarkan izinnya oleh Gubernur Anies Baswedan. Saya tahu persis kasus tersebut karena saya menjadi saksi ahli di PTUN Jakarta.

Toleransi Beragama Versus Moderasi Beragama

Toleransi dalam bahasa Arab disebut tasamuh. Secara bahasa toleransi berarti tenggang rasa. Sedang secara istilah, toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati perbedaan antar sesama manusia.

Dari arti kata toleransi, maka tidak tepat dan bahkan salah “toleransi beragama” sebagai norma agama karena agama merupakan kepercayaan (iman) kepada Allah, tidak bisa ditoleransikan. Dalam Islam, Allah mengajarkan cara bertoleransi dengan firmanNya.

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

(bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya).

Dari firman Allah tersebut lebih tepat dengan norma “toleransi antar umat beragama.”

Demikian pula istilah “moderasi beragama,” tidak tepat menggunakannya.
Arti moderasi sebagaimana dikemukakan di atas adalah 1) pengurangan kekerasan. 2) penghindaran keekstriman.

Selain itu, istilah moderasi tidak sama dengan istilah “washathiyah” dalam Al-Qur’an sebagaimana firman

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikianlah kami jadikan kamu menjadi umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi bagi kamu (Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 143).

Mengapa saya mengatakan moderasi tidak sama dengan “washathiyah” karena moderasi lawan katanya adalah ekstrim. Sedangkan makna dari ekstrim: 1) berlebihan, drastis, eksesif, lewat batas, melampaui, musykil, supernatural; 2) fanatik, keterlaluan, radikal, reaksioner, revolusioner, ultra.

Kalau kita menggunakan “moderasi beragama” berarti kita mengurangkan kekerasan beragama, yang bisa dimaknai agama mengajarkan kekerasan. Begitu pula makna kedua penghindaran keekstriman dalam beragama, yang dapat dimaknai bahwa agama mengajarkan sikap ekstrim, radikal, fanatik, revolusioner dan sebagainya.

Padahal dalam memahami Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari asbabun nuzul, sebab-sebab suatu atau beberapa ayat Al-Qur’an diturunkan. Kalau ayat Al-Qur’an diturunkan pada saat atau dalam keadaan perang, maka ayatnya sangat keras. Jika turunnya ayat Al-Qur’an dalam keadaan damai, maka ayat-ayat sangat halus.

Menurut saya istilah “toleransi agama” harus ditolak dengan diganti “toleransi antar umat beragama,” karena agama apapun tidak bisa ditoleransikan dengan agama lain.

Sedang toleransi antar umat beragama tidak menjadi masalah dalam Islam karena tidak saja Allah memandu umat Islam untuk mengamalkan toleransi seperti tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi juga Nabi Muhammad saw telah mempraktekkan toleransi dengan membuat Konstitusi Madinah yang populer dengan nama “Piagam Madinah.”

Sedang konsep moderasi beragama, saya tidak sependapat sebab Allah sudah memandu umat Islam kapan harus moderat dan kapan harus bersifat tegas.

Apalagi faham moderasi beragama diduga untuk melemahkan umat Islam agar hilang ruhul jihad (daya juang). Bahkan ada yang mengaitkan moderasi beragama tidak lain adalah ide turunan dari sekularisme sebagai nyawa yang akan menjamin kelangsungan hidup dan kedigdayaan oligarki kapitalisme di muka bumi.

Untuk melanggengkan kedigdayaan para kapitalisme yang menghisap kekayaan alam bangsa Indonesia, dibuat konsep moderasi bergama. Dengan moderatnya umat Islam, maka akan bersifat permissive (serba membolehkan) semua hal walaupun bertentangan dengan ajaran agama yang melarang untuk berbuat mungkar.

Penerapan Toleransi Beragama & Moderasi Beragama

Toleransi antar umat beragama dalam bidang muamalah yaitu sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial telah diamalkan oleh bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dengan merujuk Al-Qur’an dan praktik yang dijalankan Nabi Muhammad saw sesuai Piagam Madinah.

Akan tetapi belakang ini, terjadi toleransi antar umat beragama yang kebablasan karena sudah dilakukan dalam bidang ibadah (ritual).

Menurut saya toleransi beragama dan moderasi agama, telah menjadikan sebagian umat Islam bersikap permisif (serba boleh). Tidak ada lagi batasan, mana yang boleh dan mana pula yang tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh,
Misa HUT Paroki Kristus Raja, Surabaya diiringi hadroh. Contoh lain, Tari Sufi dan Sholawat Syiir Tanpo Waton Iringi Misa Natal di Malang.

Padahal Misa HUT Paroki Kristus Raja dan Misa Natal merupakan ibadah bagi mereka yang tidak boleh hadir dan mengikuti acara ibadah mereka. Itu sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dampak Negatif Moderasi Beragama

Setidaknya ada lima dampak negatif dari moderasi beragama.

Pertama, hilangnya ghirah umat Islam yaitu perasaan cemburu terhadap Islam. Padahal ghirah menurut Buya Hamka ghirah adalah nyawanya umat Islam.

Kedua, meredupnya semangat membela Islam dan umat Islam.

Ketiga, melemahnya ruhul jihad (semangat juang) dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Keempat, melemahnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, karena Islam yang ajarannya mempersatukan tidak lagi dijadikan rujukan utama dalam kehidupan kehidupan sosial ekonomi dan politik.

Kelima, Indonesia akan semakin melemah karena Islam hanya menjadi agama ritual (ibadah mahdhah) dan dipecah belah melalui politik devide et impera. Padahal umat Islam dan TNI adalah pilar utama persatuan Indonesia.

Keenam, saya menduga moderasi beragama merupakan strategi global untuk melanggengkan penguasaan sumber daya alam Indonesia yang diadopsi untuk mengkrangkeng umat Islam agar tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Demikianlah, kurang lebihnya mohon maaf dan terima kasih atas perhatiannya.

Baca Juga

Pemilu

PKS bersama Anies perlu memiliki strategi yang matang dan inovatif guna memenangkan Pemilu legislatif dan pemilu Presiden 2024 serta mempertahankan eksistensi Partai Keadilan Sejahtera...

Pendidikan

Seminar nasional yang bertema Membangun Pendidikan Bertaraf Internasional Menuju Indonesia Emas 2045, dengan keynote speech Dr. Ir. Suharti, MA, Sekjen Kemendikbud Ristek RI.

Covid-19

Mengawali Tahun 2023, Yayasan Lembaga Pemberdayaan Sosial dan Demokrasi telah memilih tema diskusi panel Membedah Dugaan Korupsi Bansos DKI Jakarta 2020 yang Berlangsung di...

Pendidikan

Bambang Soeprapto School For Good Ethics and Leadership (BSS GEL) memprakarsai pendidikan bagi para penegak hukum, dengan fokus memberikan pendidikan karakter moral.

Lainnya

Anies Baswedan, bakal calon Presiden RI bersama Partai Nasdem menggelar Natal Nasional Tahun 2022 di Auditorium Universitas Cenderawasih Kota Jayapura, Papua, Kamis 8 Desember...

Pendidikan

Bambang Soeprapto School for Good Ethics and Leadership dan sarasehan akhir tahun dengan tema Membangun Karakter Moral Penegak Hukum untuk Mewujudkan Indonesia yang Adil...

Lainnya

Anies Baswedan, menyampaikan keluhan yang merasakan pemerintah terkadang matikan kritik. Anies Baswedan berbicara terkait dirinya yang kerap mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Dia lalu menyinggung...

Lainnya

24 Nov. 2022, saya di undang untuk menjadi salah satu narasumber program ILC  yang dipandu Karni Ilyas, yang membahas tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum...